tahusifat ini kecuali dirinya. Tidak ada orang lain yang tahu tentang sikap buruk sangka itu, karena tersembunyi di dalam pikiran manusia. Yang tahu ada Kemudian sikap buruk sangka itu berwujud dalam bentuk sikap, ucapan, atau kata-kata yang keluar dari mulut pemiliknya. Dari sinilah baru orang lain tahu, bahwa di dalam hatinya ada buruk sangka. ArticlePDF AvailableAbstractBeing a pluralist community, Nias consists of not only the Nias ethnic group but also other ethnic groups, such as Tionghoa Chinese, Padang, Batak and Javanese. Social harmony within the community is like no other ever found in other regions across Indonesia. Indeed, social harmony amongst the Nias community has been a very much interesting social fact for research and analysis. Has some sort of local wisdom been exercised as a social capital to create the social harmony within the life of this religious-pluralist community? A research on this was conducted in Kota Gunungsitoli by applying the descriptive-qualitative research. The research shows that their local wisdom of Banua dan fatalifus/em>ta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua taideide sideideide mutayaig/em>and the fact that religious communites in this region have strong understanding and emphasize on their religious values are matters that heavily influence both the creation and the preservation of the social harmony within the community. Keyword Social-harmony, Religious Pluralism, Cultural diversity, Nias, Banua dan fatalifus/em>ta Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS DALAM MEMPERTAHANKAN HARMONI SOSIAL Sri Suwartiningsih dan David Samiyono Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRACT Being a pluralist community, Nias consists of not only the Nias ethnic group but also other ethnic groups, such as Tionghoa Chinese, Padang, Batak and Javanese. Social harmony within the community is like no other ever found in other regions across Indonesia. Indeed, social harmony amongst the Nias community has been a very much interesting social fact for research and analysis. Has some sort of local wisdom been exercised as a social capital to create the social harmony within the life of this religious-pluralist community? A research on this was conducted in Kota Gunungsitoli by applying the descriptive-qualitative research. The research shows that their local wisdom of Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö [tidak bold] and the fact that religious communities in this region have strong understanding and emphasis on their religious values. These factors heavily influence both the creation and the preservation of the social harmony within the community. KEYWORDS social-harmony, Religious Pluralism, Cultural diversity, Nias, Banua and fatalifusöta. 236 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 ABSTRAK Masyarakat Nias adalah masyarakat plural yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga terdiri dari suku-suku bangsa lainnya, seperti Tionghoa, Padang, Batak dan Jawa. Harmoni sosial yang telah tercipta dalam masyarakat Nias ini telah menjadikannya berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia. Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat Nias telah menjadi sebuah fakta sosial yang layak untuk dianalisis dan diteliti. Upaya harmoni apa yang dilakukan oleh masyarakat Nias yang agamis-pluralistik ini yang menjadi modal dasar bagi terciptanya harmoni sosial tersebut? Penelitian dilakukan di Kota Gunungsitoli dengan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kearifan lokal Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö dan pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang kuat bagi pemeluk-pemeluknya yang agamis-pluralistik memiliki hubungan yang sangat erat terhadap terciptanya dan terpeliharanya harmoni sosial yang ada di dalamnya. KATA KUNCI harmoni sosial, Pluralisme Agama, Nias, Banua dan fatalifusöta. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 237 LATAR BELAKANG Masyarakat Nias adalah salah satu masyarakat plural yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Sampai sekarang masih belum ada sumber informasi yang pasti tentang asal-usul masyarakat Nias yang Salah satu suku bangsa mayoritas yang ada dalam masyarakat Nias adalah suku Nias. Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" Ono = anak/keturunan; Niha = manusia dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" Tanö = tanah. Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di 1 Tentang asal-usul masyarakat Nias masih belum ada kepastian yang jelas atau kesepakatan di antara para antropolog, ada yang mengatakan bahwa leluhur masyarakat Nias berasal dari Indostan, yaitu suatu istilah geografis kuno untuk negeri-negeri di sebelah Timur Laut dari India; ada juga yang mengatakan bahwa leluhur masyarakat Nias berasal dari Tionghoa. Sedangkan menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut, di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke-9 putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias lihat Wikipedia, ‚Suku Nias‛, 25 Nopember 2011, diakses 29 Agustus 2014, 238 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 wilayah pedalaman pulau ini sampai Masyarakat Nias adalah masyarakat plural yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga terdiri dari suku-suku bangsa lainnya, seperti Tionghoa, Padang, Batak dan Jawa. Hal ini terjadi karena datangnya orang-orang dari luar Pulau Nias yang memiliki berbagai kepentingan, seperti berdagang perniagaan. Jejak mereka dapat dilacak dari permukiman mereka yang sekarang di Idano Gawo, Sirombu, Gunungsitoli kota terbesar di Pulau Nias, Lahewa, dan Tuhemberua semua terletak di daerah pesisir pantai Pulau Nias, terbesar bagian Kemudian dalam perjalanan waktu para pendatang ini semakin lama semakin merasa betah tinggal di Pulau Nias, dan akhirnya memutuskan untuk tinggal menetap di pulau ini. Menurut Elio Modigliani, yang dikutip oleh Johannes Maria Harmmerle, hal ini juga kemungkinan disebabkan oleh terjadinya suatu proses asimilasi dalam suatu proses yang panjang melalui migrasi para penduduk dan melalui perkawinan campur. Lama-kelamaan tercipta suatu ciri khas gabungan dari dua elemen Secara sosiologis, asimilasi dalam bentuk perkawinan campuran ini semakin memperkuat keberadaan atau status sosial mereka dalam komunitas masyarakat Nias. Sebagai konsekuensi riil sosiologisnya ialah bahwa akhirnya mereka diterima sebagai 2 Wikipedia, ‚Suku Nias‛. 3 Phil J. Garang, Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan. Jakarta Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007, h. 47. 4 Johannes Maria HĂ€mmerle, Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Gunungsitoli Yayasan Pusaka Nias, 2001, h. 42. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 239 bagian yang sah secara adat dan agama di dalam masyarakat Nias. Asimilasi ini menjadi ikatan sosial yang sangat kuat, tidak hanya secara sosiologis tetapi juga secara emosional. Hal ini disebabkan oleh sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Nias yang berlandaskan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Selain pluralitas etnis di atas, salah satu kenyataan objektif lainnya yang kelihatan secara jelas dalam konteks masyarakat Nias adalah pluralitas agama. Dari segi kehidupan keagamaan, masyarakat Nias adalah masyarakat yang agamis-pluralistik. Ada yang memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Buddha. Namun secara kuantitatif, masyarakat Nias mayoritas memeluk agama Kristen Protestan. Pada kenyataannya dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, masyarakat Nias yang agamis-pluralistik ini telah hidup berdampingan dengan damai dan rukun. Sampai saat ini masyarakat Nias telah hidup berdampingan secara damai dan toleran. Secara sosiologis, masyarakat Nias hidup secara bersama-sama sebagai sebuah komunitas sosial yang saling menerima, menghargai dan membaur satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan kegiatan-kegiatan sosial. Seperti pada perayaan hari-hari besar keagamaan, masyarakat Nias yang berbeda agama saling menghormati dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan peribadatannya. Tidak ada keengganan orang yang beda agama untuk menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan meskipun hal tersebut diselenggarakan di tempat-tempat ibadah seperti gereja, masjid, dan sebagainya. Bahkan sampai sekarang masih ada kebiasaan saling berkunjung ke rumah antar-pemeluk agama 240 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sebagai pengikat tali silaturahmi pada perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Natal dan Tahun Baru atau Hari Raya Idul Fitri, dan sebagainya. Juga dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan dan upacara penguburan orang mati, tetap terjalin kepedulian dan persaudaraan yang indah, baik dalam peristiwa suka maupun duka. Harmoni sosial yang telah tercipta dalam masyarakat Nias ini telah menjadikannya berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia yang juga agamis-pluralistik, namun pada kenyataannya seringkali menjadi medan kekerasan dan ajang konflik sosial. Secara historis, hampir tidak pernah terjadi konflik horizontal yang bersifat destruktif di dalam masyarakat Nias. Tidak pernah ada aksi teror atau kekerasan atas nama agama dan atau atas nama suku seperti yang sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat Nias telah menjadi sebuah fakta sosial yang layak untuk dianalisis dan diteliti. Harmoni sosial ini menjadi sesuatu yang layak untuk diteliti oleh karena biasanya pada komunitas masyarakat agamis-pluralistik di daerah-daerah lain sering diwarnai disharmoni sosial atau keretakan-keretakan dalam hubungan sosial antar-individu atau kelompok-kelompok sosial. Hal inilah yang melatarbelakangi kajian penelitian ini apakah ada kearifan lokal dalam masyarakat Nias, khususnya Kota Gunungsitoli ini yang menjadi modal dasar bagi terciptanya harmoni sosial tersebut? KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 241 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Nias tepatnya di Kota Gunungsitoli, karena peneliti menganggap lokasi ini lebih representatif untuk menggambarkan nuansa kehidupan sosial masyarakat Nias yang agamis-pluralistik. Alasan Kota Gunungsitoli dipilih sebagai lokasi penelitian karena kota ini merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat pluralitas tinggi, dan sejauh ini tidak pernah terjadi konflik sosial, politik, budaya dan agama di kota ini. Hal ini mencerminkan adanya sebuah kesepakatan sosial di antara masyarakat. Kesepakatan sosial itu dapat berdasarkan atas kearifan lokal yang diakui sebagai pilar kerukunan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mengapa? Karena penelitian kualitatif sangat efektif untuk mengkaji nuansa sikap dan perilaku yang samar-samar serta proses sosial yang ada di masyarakat. Di samping itu melalui pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengeksplorasi di mana dan mengapa suatu kebijakan, kearifan lokal dan tindakan dilakukan. Dalam penelitian ini dipergunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu dengan teknik interview wawancara, teknik observasi dan dokumentasi. Signifikasi dari penelitian ini antara lain Pertama, tersedianya modal sosial yang melibatkan networks jaringan, norms norma-norma, dan kepercayaan sosial social trust dalam masyarakat. Kedua, hasil penelitian ini bisa menjadi momentum pemikiran dunia akademis, khususnya kaitan antara agama 242 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 dengan wilayah kehidupan sosial lainnya, seperti ekonomi, politik, dan integrasi sosial. Ketiga, hasil penelitian juga memberikan masukan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi sosial-keagamaan sebagai pilar-pilar masyarakat sipil di Indonesia, betapa kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia memiliki nilai damai’ yang sangat signifikan dalam menyumbang terciptanya hamoni sosial. TINJAUAN PUSTAKA Sebagai pisau analisis dalam membahas dan menjawab tujuan penelitian maka diperlukan kajian teoritis. Penelitian ini menggunakan teori Pluralisme, Harmoni Sosial dan Kearifan lokal yang diuraikan sebagai berikut Pluralisme Menurut Prof. John A. Titaley, pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan dan musim panas. Agama bukan saja suatu lembaga yang berhubungan dengan Yang Mutlak saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia adalah bagian dari kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia sehari-hari, sama seperti KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 243 kehidupan lainnya. Karenanya, sebagai suatu institusi sosial, agama itu juga adalah bagian dari satu sistem kebudayaan. Jadi kalau kebudayaan manusia itu beragam, maka dapat dipahami pula kalau agama itu pun juga beragam. Mengapa agama itu juga bagian dari kebudayaan? Karena manusia tidaklah dapat hidup di luar Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, yaitu bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku bangsa etnis, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat. Seharusnya realitas kemajemukan ini disyukuri sebagai salah satu kekayaan yang dapat merajut harmoni sosial di tiap-tiap daerah di Indonesia, sekaligus sebagai modal untuk membangun integrasi bangsa. Namun sangat disayangkan, pluralitas atau perbedaan yang ada tersebut justru seringkali dijadikan sebagai sumber atau faktor yang menjadi penyebab konflik atau kekerasan, secara khusus pertikaian antaragama di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir menodai dan mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional. Padahal pluralisme terkait dengan penghargaan dan toleransi antara self dan the other, kelompok – tanpa memandang besar atau kecil – dengan kelompok lain. Pluralisme bukan pula membenarkan segala ekspresi kebudayaan nihilisme seperti budaya kekerasan, budaya memaksa, budaya korupsi, dan dosa-dosa sosial 5 John Titaley, ‚Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama‛, Suara Merdeka 9 Desember 2005, diakses 31 Maret 2012, 6 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural Menghargai Kemajemukan, 244 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 Pluralisme berasal dari kata pluralism yang berarti jamak. Ia dicirikan oleh keyakinan-keyakinan bahwa pluralisme merupakan realitas fundamental yang bersifat jamak, di mana ada banyak tingkatan dalam alam semesta yang terpisah yang tidak dapat teredusir dan pada dirinya independen. Sedangkan alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental7. Pluralisme sebagai konsep nilai ideal mesti dibangun dengan pemahaman-pemahaman yang besar agar tidak setengah-setengah ataupun justru terlalu berlebihan. Shihab memberikan gambaran pluralisme dengan batasan-batasan tertentu8, yaitu Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kemajemukan. Namun yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Sikap dan tindakan aktif untuk memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang hanya menunjuk pada suatu realitas di mana aneka ragam ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, pluralisme harus dibedakan dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Keempat, pluralisme bukanlah Menjalin Kebersamaan. Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2003. 7 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta Gramedia, 1996, h. 853. 8 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung Mizan, 1999, h. 41-42. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 245 sinkretisme di mana terdapat usaha untuk menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. Sikap dan tindakan dalam berinteraksi menjadi hal terpenting mengingat hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Keterlibatan aktif dengan kelompok lain untuk bertoleransi, memahami, serta membangun dan memperkaya keragaman dalam komunitas global adalah pengertian pluralisme yang lebih mendalam. Knitter mengatakan bahwa ada tiga jembatan yang dapat menghubungkan memori umat beragama ke dalam satu sikap yang mendukung teologi pluralisme di antara umat Pertama, jembatan historis-kultural. Melalui cara ini, maka titik tekan dari pembahasan mengenai agama-agama adalah sifat kebenarannya yang relatif. Dengan melihat bahwa semua agama hidup dalam sebuah keterbatasan budaya, maka ia tidak bisa menjadi standar untuk melihat kebenaran agama lain. Kedua, jembatan teologis-mistis ini diartikan bahwa isi pengalaman keagamaan yang otentik itu tidak terbatas, dan melampaui segala bentuk untuk menggapai. Misteri Allah yang tidak terbatas itu menuntut pluralisme keagamaan dan melarang agama manapun memiliki firman satu-satunya atau firman terakhir. Ketiga, jembatan etis-praktis. Motivasi dari pendekatan pluralitas bukanlah kesadaran historis, kepercayaan mistis, tetapi 9 Paul F. Knitter dan John Hick, Mitos Keunikan Agama Kristen The Myth of Christian Uniqueness, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001. 246 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 perjumpaan dengan penderitaan-penderitaan umat manusia dan kebutuhan untuk mengakhiri keadaan yang membangkitkan kemarahan itu. Kebutuhan mempromosikan keadilan, menjadi kebutuhan umat beragama terhadap kepercayaan mereka. Ini merupakan awal dari teologi pembebasan. Dalam salah satu makalahnya, Abdurrahman Wahid Gus Dur, pernah mengatakan Karena budaya kita memang suka terbilang, maka dengan sendirinya kemajemukan itu telah ada dalam kehidupan bangsa kita. Tetapi akan lebih mantap dan berwajah lebih lengkap, kalau hal ini kita sadari dengan baik sebagai warga negara yang mengetahui kebutuhan hidup bersama, kebutuhan akan hidup toleransi dan menghargai orang lain, sebagai sebuah sikap hidup yang dimiliki sehari-hari. Dengan demikian sikap eksklusif dalam membina kehidupan bersama memang mudah diungkapkan, namun sulit Sebelumnya, dalam pidato pada perayaan Natal Nasional pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan Jakarta, Abdurrahman Wahid menyampaikan Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai, tak pernah sekalipun saya merasa berbeda dengan yang 10 Abdurrahman Wahid, Kemajemukan Modal Membangun Bangsa, Makalah tidak diterbitkan, 8 Agustus 2003, h. 3. 11 Rumadi, ‚Dinamika Agama Dalam Pemerintahan Gus Dur‛, dalam KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 247 Harmoni Sosial Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama orang lain. Pola dasar keberadaan manusia ialah hubungan antar-pribadi. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang Suatu masyarakat akan berada dalam ketertiban, ketenteraman, dan kenyamanan, bila berhasil membangun harmoni sosial. Banyak hal yang berkaitan dengan harmoni sosial, baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan Sebagai makhluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain di sekitarnya. Seseorang akan selalu butuh dengan yang lain, tidak hanya untuk saling bantu dan tolong-menolong, tapi juga untuk membangun komunitas sosial yang saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang yang beragam suku, budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi dan Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, Khamami Zada ed, Jakarta LAKPESDAM, 2002, h. 144. 12 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2002, h. 103. 13 Aristiono Nugroho, ‚Harmoni Sosial Berbasis Ketuhanan‛, Sosiologi Dakwah, 7 Maret 2009, diakses 25 Nopember 2011, 248 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sebagainya, adalah sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dielakkan oleh setiap individu. Namun di situlah keindahan sebuah komunitas sosial bila mampu merekat berbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan saling mencintai. Pada kenyataannya, di tengah masyarakat kita berbagai perbedaan itu kerap menjadi bom waktu dan sumbu pemicu terjadinya konflik horizontal berkepanjangan. Tentu banyak variabel penyebab munculnya berbagai konflik. Bahkan bisa jadi konflik membara dapat muncul dari sebuah komunitas yang berasal dari latar belakang budaya, ekonomi, suku dan pendidikan yang sama. Konflik seperti ini kerap terjadi pada masyarakat Indonesia yang hidup di pedalaman dan tidak memiliki pendidikan memadai untuk mengomunikasikan masalah yang terjadi di tengah mereka. Sehingga bagi mereka bahasa otot jauh lebih efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut ketimbang bahasa otak. Situasi seperti di atas mungkin sangat sulit kita temukan terjadi di wilayah perkotaan dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang lebih baik. Walau perspektif ini tidak berlaku mutlak. Karena kita juga kerap menyaksikan para mahasiswa yang notabene berasal dari kalangan terdidik terkadang juga suka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan bahasa otot tawuran, perkelahian jalanan dan menafikan eksistensi mereka sebagai komunitas terdidik yang layak dijadikan sebagai teladan. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 249 Konflik dapat terjadi di mana saja, pada siapa saja dan komunitas manapun, tidak peduli apakah ia berasal dari kalangan terpelajar, suku atau agama yang sama. Setiap orang dapat terlibat dalam arus konflik yang terjadi di hadapannya, atau bersentuhan langsung dengannya kecuali mereka yang memiliki pikiran yang jernih, hati yang lapang dan kendali nafsu yang kuat. Perbedaan budaya, kultur dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa kita yang terdiri dari banyak suku yang tersebar di berbagai wilayah. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pelbagai perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu munculnya sebuah konflik bila tidak dikelola dengan baik. Putusnya jalinan komunikasi dan interaksi antar-tetangga menjadi sebab utama munculnya masalah-masalah besar. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa kesibukan setiap orang yang berangkat pagi menuju tempat kerja dan pulang petang membuat hubungan itu menjadi renggang atau putus. Bahkan, penghuni dua rumah yang hanya dipisahkan tembok, terkadang tidak saling kenal. Apakah ini karena tidak adanya waktu luang, atau tidak pernah meluangkan waktu untuk sekadar saling menyapa atau melempar senyum sembari menanyakan kondisi masing-masing? Bila kultur seperti ini yang lebih kental ketimbang kebersamaan untuk mewujudkan sebuah lingkungan yang nyaman dan aman, masyarakat yang lebih peduli terhadap sesama, maka sangat wajar bila masyarakat tidak menikmati kehidupan sosial yang baik di tengah komunitas masyarakat di 250 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 mana mereka berada. Tidak aneh, bila ada seseorang yang meninggal dunia tanpa diketahui tetangga sekitarnya, dan baru diketahui setelah tercium bau busuk dari Kearifan Lokal Kearifan lokal local genius/local wisdom merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan cerita rakyat dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan semenjak zaman dahulu mulai dari 14 ‚Indahnya Harmoni Sosial‛, Almanar, 2 Januari 2013, diakses 25 Nopember 2011, 15 Restu Gunawan mengemukakan ini dalam makalah Kongres Bahasa berjudul ‛Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra‛ Oktober 2008, dikutip dalam AA G Oka Wisnumurti, Mengelola Nilai Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama Suatu tinjauan Empiris-Sosiologis, 2010, diakses 25 Nopember 2011, KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 251 zaman prasejarah sampai sekarang ini. Kearifan tersebut merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler, 2007, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Secara umum budaya lokal dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah Sementara Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai Ciri-cirinya adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam, budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya. 16 Erwan Baharudin, ‚Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan‛, 3 Agustus 2011, diakses 25 Nopember 2011, 17 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa local genius, Jakarta Pustaka Jaya, 1986. 252 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 KOTA GUNUNGSITOLI Sejarah Kota Gunungsitoli lahir pada 7 April Terdapat banyak pendapat mengenai nama ‚Gunungsitoli‛ itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah ‚Onozitoli‛, yaitu suatu nama kampung banua, yang memiliki arti ono = anak, zitoli atau sitoli = nama orang. Pendapat lain mengatakan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari ‚Hilisite’oli”, yang memiliki arti hili = gunung, dan site’oli = yang berjejer. Namun, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus budayawan dan seniman Nias bernama F. Zebua, dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah ‚Hiligatoli”. Ia mengatakan sebagai berikut Asal-usul logis, benar, argumentatif dan historis-fundamental serta dapat dipertanggungjawabkan tentang sebutan ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah Hiligatoli, nama gunung dalam pusat kota Gunungsitoli sekarang persambungan Hilihati sekarang. Nama Gunung itu berasal dari nama orang Toli’ana’a, dengan panggilan sehari-hari Katoli = Gatoli. Katoli ini adalah putera sulung baginda Löchözitölu Zebua cikal-bakal Banua Hilihati. Toli’ana’a dikuburkan di gunung itu sebelum timbulnya pelabuhan Luahanou dan sebelum timbulnya istilah ‚gunungsitoli‛ itu. Kemudian Hiligatoli itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu yang 18Lihat Marinus Telaumbanua, ed., Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, Pulau Nias tanpa penerbit, 1996. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 253 berakulturasi dengan bahasa Nias menjadi gunungsitoli, yaitu Hili = Gunung; Gatoli dari Katoli = Ka Toli = Si Toli atau Sitoli nama orang tersebut di atas. Profil Geografi dan Wilayah Pemerintahan Kota Gunungsitoli diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten administratif, wilayah Kota Gunungsitoli meliputi 1. Kecamatan Gunungsitoli Utara 2. Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa 3. Kecamatan Gunungsitoli 4. Kecamatan Gunungsitoli Selatan 5. Kecamatan Gunungsitoli Barat 6. Kecamatan Gunungsitoli Idanoi Wilayah Kota Gunungsitoli berbatasan dengan utara, Kecamatan Sitölu Ìri Kabupaten Nias Utara. Selatan, Kecamatan Gidö dan Hili Serangkai Kabupaten Nias. Barat, Kecamatan Alasa Talumuzöi dan Namöhalu Esiwa Kabupaten Nias Utara, dan Kecamatan Hiliduho Kabupaten Nias. Timur, Samudera Indonesia Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun 2009 adalah sebanyak jiwa. Secara khusus dalam Kecamatan Gunungsitoli, jumlah penduduk adalah jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan jiwa. 254 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 MASYARAKAT GUNUNGSITOLI DALAM PERSPEKTIF TEORI IDENTITAS SOSIAL Secara sosiologis masyarakat Gunungsitoli bukan suatu masyarakat yang homogen. Pluraritas etnis yang ada di dalamnya membuat kota ini memiliki sistem kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena sistem nilai dan tradisi yang berbeda-beda dalam tiap etnis. Berdasarkan teori identitas sosial, salah satu hal yang mengancam potensi harmoni sosial adalah potensi konflik antaretnis. Penyebabnya adalah adanya klaim bahwa satu etnis merasa lebih baik dari pada etnis yang lain. Primordialisme agama, suku dan budaya ini yang memiliki potensi tumbuh dalam masyarakat yang plural. Hal ini seringkali diperburuk dengan terjadinya kesenjangan dalam mendapatkan sumber-sumber langka, seperti jabatan dalam pemerintahan. Berdasarkan realitas sosial ini, dalam menyikapi perbedaan identitas etnis atau cultural identity. Sikap masyarakat Nias yang terbuka terhadap perbedaan ini menyebakan kelompok lain, out group menjadi lebih nyaman. Sikap ini perlu dikembangkan, melalui cara meminimalisir perbedaan in group dan out group, atau penduduk asli dan penduduk pendatang. Dalam bingkai ke-Indonesia-an, Fuller mengatakan ‚Bhineka Tunggal Ika secara harafiah adalah berbeda-beda tetapi KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 255 tetap satu jua berarti persatuan dalam keberanekagaman.‛19 Secara etis, dapat dipahami bahwa seharusnya setiap kolompok etnis harus berusaha untuk saling menerima dan menyesuaikan diri satu sama lain, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap etnis tidak boleh menonjolkan dirinya sediri sehingga merasa superior. KEADAAN SOSIO-RELIGIUS Masyarakat Kota Gunungsitoli adalah masyarakat plural baik dari segi kehidupan sosio-budaya dan sosio-religius. Bukti pluralitas masyarakat Gunungsitoli dari keragaman etnis dan agama yang ada di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Kota Gunungsitoli. Berdasarkan pluralitas etnik, masyarakat Kota Gunungsitoli terdiri dari beberapa suku bangsa, yaitu Nias, Cina Tionghoa, Padang, Batak, dan Jawa. Suku bangsa mayoritas yang ada di dalamnya adalah suku bangsa Nias. Secara umum di seluruh daerah di Kepulauan Nias, dan secara khusus di Kota Gunungsitoli, bahasa yang umum dipergunakan sehari-hari sebagai alat untuk berkomunikasi adalah bahasa Nias. Dalam perjalanan sejarah, telah terjadi asimilasi melalui migrasi penduduk dan dalam bentuk perkawinan campuran antaretnis. Konsekuensi asimilasi ini menjadi ikatan sosial yang sangat kuat, tidak hanya secara sosiologis tetapi juga secara 19 Andy Fuller, ‚Kebebasan Beragama di Indonesia Beberapa Catatan Berdasarkan Observasi Titik Temu‛, Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 4, Nomor 1 Juli –Desember 2011. 256 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 emosional, oleh karena sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Nias yang juga dilandaskan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Secara khusus dalam pluralitas keagamaan segi kehidupan sosio-religius, Kota Gunungsitoli dikenal sebagai komunitas masyarakat agamis yang terdiri dari berbagai pemeluk agama-agama yang diakui di yang memeluk agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, Buddha dan itu dapat terlihat jelas dari tabel sebagai berikut. Tabel 1 Banyaknya Pemeluk Agama Menurut Kecamatan Oktober 201020 Sumber Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Gunungsitoli Jumlah rumah ibadah pada tahun 2009 adalah sebanyak 443 unit, yaitu masjid/surau 59 unit, gereja protestan 359 unit, gereja Katolik 20 ‚Gunungsitoli Dalam Angka 2010‛, No. Publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Gunungsitoli. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 257 36 unit, dan vihara 1 unit, tersebar di seluruh kecamatan. Demikian juga pada tahun 2010, tidak ada perubahan dalam hal jumlah rumah ibadah di Kota Gunungsitoli. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah Tabel 2 Banyaknya Rumah Ibadah Menurut Kecamatan Oktober 201021 Sumber Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias Meskipun masyarakat Kota Gunungsitoli merupakan masyarakat yang agamis pluralistik, namun fakta sosial menunjukkan bahwa tidak pernah ada konflik antarumat beragama, maupun konflik antaretnis yang mewarnai kehidupan sosialnya. Justru realitas sosial yang tampak secara nyata ialah telah terciptanya harmoni 21 Ibid. 258 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sosial antarumat beragama dan antaretnis. Berdirinya rumah-rumah ibadah tanpa hambatan atau penolakan merupakan salah satu indikator kuat yang menunjukkan bahwa kebebasan beribadah dan kerukunan antarumat beragama telah terjalin dengan sangat harmonis dan kondusif di Kota Gunungsitoli. Di Kota Gunungsitoli, kesadaran umat beragama sangat tinggi, hal ini disebabkan antara lain a. Kuatnya filosofi persaudaraan fatalifusöta yang dibangun dalam masyarakat Nias, baik berdasarkan pertalian darah satu keturunan maupun karena hubungan dalam satu komunitas sosial fabanuasa. b. Adanya sikap non-diskriminatif kesetaraan dan saling menghargai dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Hal ini dibuktikan melalui kesediaan untuk menghadiri acara-acara ibadah perayaan hari-hari besar keagamaan dari pemeluk agama yang satu terhadap pemeluk agama lainnya. c. Penyampaian pesan-pesan keagamaan secara sehat dan benar, yaitu ajakan untuk berbuat kebaikan dan kasih; tidak bersifat provokatif dan fundamentalis. Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, seperti upacara pesta perkawinan dan acara duka peristiwa kematian, tetap saling mengundang dan saling menghadiri, tanpa melihat perbedaan latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang terjadi perkawinan antaretnis dan antarumat beragama yang berbeda keyakinan. Namun, hal ini tidak pernah KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 259 menjadi faktor penyebab konflik atau kekacauan sosial dalam masyarakat Nias umumnya dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya, selama hal itu telah disepakati bersama oleh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KOTA GUNUNGSITOLI DALAM MEMPERTAHANKAN HARMONI SOSIAL Untuk tetap menjaga keharmonisan sosial di Kota Gunungsitoli, ada beberapa kearifan lokal yang menjiwai dan melandasi hubungan-hubungan sosial dalam konteks masyarakat Kota lokal tersebut adalah nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang disepakati bersama, yang merupakan perwujudan secara nyata dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam sistem masyarakat Nias secara umum, dan di dalam sistem masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. Kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut a. Banua dan fatalifusöta. Banua dapat diartikan sebagai sebuah wilayah teritorial yang di dalamnya terdapat sejumlah individu-individu yang berinteraksi satu sama lain. Jadi, banua merupakan tempat tinggal sekelompok manusia atau sebuah komunitas sosial. Di dalam banua ini, disepakati sejumlah hukum atau norma yang mengatur kelangsungan hidup bersama demi tetap terpeliharanya harmoni sosial. Sedangkan fatalifusöta, memiliki makna persaudaraan’, yang tidak hanya didasarkan atas hubungan darah klan, tapi juga hubungan persaudaraan karena 260 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 berada dalam satu banua’, meskipun berbeda marga, suku, maupun agama. Ketika banua didirikan, ada ikrar janji/sumpah dari setiap orang yang mau bergabung sebagai anggota masyarakat yang sah di dalam banua. Makanya ada ungkapan yang mengatakan ‚ufaböbödo banua” yang berarti ‚saya mengikatkan diri saya sebagai bagian dari masyarakat ini‛. Hal ini merupakan komitmen dan kepatuhan terhadap segala hukum atau norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, banua sebagai komunitas sosial dalam kehidupan sosiologis masyarakat Nias merupakan sebuah tempat kehidupan bersama, yang di dalamnya terdapat banyak orang dari berbagai etnis suku bangsa yang bukan hanya terdiri dari suku bangsa Nias saja, dari timur dan barat, dari berbagai agama, dan dari berbagai marga yang berbeda-beda. Akhirnya, semua ikatan, komunikasi dan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya disebut sebagai ‚fabanuasa‛. Kearifan lokal ini telah lama dipelihara, bahkan telah mengakar kuat dalam prinsip-prinsip hidup bersama dalam komunitas masyarakat Nias termasuk Kota Gunungsitoli. Dalam kearifan lokal ini terlihat secara jelas nilai-nilai harmoni sosial yang bernuansa pluralitas etnis secara khusus pluralitas agama. Jadi, apapun agamanya tidak menjadi persoalan, yang paling penting adalah ‚dia itu talifusögu, banuagu‚. Itulah sebabnya dalam berbagai kegiatan di Kota Gunungsitoli kita bisa melihat orang-orang dari berbagai agama dan atau denominasi bisa duduk bersama dengan rukun. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 261 b. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umat Buddha tentang kerukunan umat beragama di Gunungsitoli sebagai berikut Kebenaran bersifat otoritas. Orang tidak bisa menyatakan kebenaran secara universal, karena akan memaksakan orang lain untuk membenarkan apa yang dianggap dirinya benar. Kebenaran adalah milik individu, sehingga orang akan menghormati kebenaran. c. Bukti ajaran yang membuat umat Buddha harmoni dengan sesamanya adalah ajaran-ajaran yang diberikan yang mendorong untuk saling menghargai. Seperti tertulis dalam Kitab Suci Dhammapada Vagga XVI, Gatha, 183 ‚Sabbapassa akaranam kusalasau pasampada sacittapariyodapanart atam buddhana sasanrin” Jangan berbuat jahat, berusahalah melakukan kebijakan sucikan pikiran. Inilah ajaran para Buddha22. Berangkat dari pemahaman inilah maka umat Buddha menjaga kestabilan hubungan dengan sesamanya, meskipun berbeda agama atau bangsa. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rangka membangun kerukunan antarumat beragama. Dalam hal ini sebaiknya tidak membicarakan doktrin masing-masing, karena perbedaan doktrin dapat memicu munculnya sentimen agama. Sikap saling menghormati dan saling bekerjasama antara pemeluk agama yang berbeda-beda merupakan sikap umat Buddha. Sebagaimana tertuang dalam Kitab Buddha Vagga, 7; Dhammapada XIV 185 22 Dhammapada, Kitab Suci Agama Buddha, Suta Pitaka, Khuddakha Nikaya, Dhammapada Gatha, Tanpa penerbit, tanpa tahun. 262 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 ‚Barang siapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, agama Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan bersama.‛23 d. Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo Ungkapan ini merupakan salah satu filsafat hidup masyarakat Nias. Secara bebas dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut ‚seseorang yang masih berada di jalan dianggap sebagai tamu tak dikenal atau orang asing, namun seseorang itu dapat menjadi saudara tamu agung yang sangat dihormati kalau ia sudah berada di dalam rumah kita‛. Ungkapan ini sesungguhnya merupakan penghormatan yang sangat tinggi dari masyarakat Nias terhadap tamu atau orang asing pendatang yang datang berkunjung, bertamu, atau singgah di rumah masyarakat Nias dalam lingkup yang paling kecil, atau di daerah Nias dalam lingkup yang lebih luas. Filsafat hidup ini juga sangat mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Nias secara umum dan di dalam kehidupan masyarakat Kota Gunungsitoli secara khusus. Filsafat ini menghadirkan kenyamanan, keamanan, 23 Ibid. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 263 persahabatan dan rasa persaudaraan terhadap siapa pun yang datang berkunjung atau pun tinggal menetap di Kota Gunungsitoli dan di Nias secara keseluruhan. Melalui filsafat hidup ini, masyarakat Nias mau mengungkapkan bahwa tamu atau orang asing pendatang yang memperkenalkan dirinya dan memberitahu maksud kedatangannya adalah tamu agung yang layak diperlakukan sebagai orang terhormat. Hal ini berlaku kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya. Selain pemaknaan di atas, secara sosial dan budaya, ungkapan ini juga bisa dipahami dalam dua pengertian Pertama, mau mengungkapkan keinginan ‚tuan rumah‛ untuk mengundang ‚tamunya‛ datang ke dalam rumah. Ini adalah bagian dari keramahtamahan dan keterbukaan orang Nias. Kedua, bentuk ajakan ‚tuan rumah‛ kepada orang lain untuk membicarakan musyawarah sesuatu hal biasanya dipakai ketika ada ‚tamu‛ yang hendak ‚manofu niha‛/melamar anak perempuan. e. Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö Ungkapan ini seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai konflik atau masalah yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini memiliki makna agar masalah yang besar jangan dibesar-besarkan, sebaliknya diusahakan menjadi lebih sederhana kecil sehingga dapat diselesaikan secara tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apapun di hati kedua belah pihak yang sudah bertikai atau berkonflik. Kearifan lokal ini sering diperdengarkan oleh 264 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 para orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan yang membahas tentang penyelesaian masalah-masalah sosial, secara khusus masalah-masalah antarwarga dan masalah-masalah kekeluargaan. Semua ini dilakukan demi menjaga dan mempertahankan harmoni sosial yang sudah lama terjalin dan terpelihara dalam komunitas masyarakat. Dalam penyelesaian masalah-masalah sosial tersebut, tidak ada pembedaan marga, suku, agama maupun status sosial lainnya; semuanya didasarkan atas nilai-nilai kekeluargaan, keadilan dan kesetaraan. f. Pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang sangat kuat bagi pemeluk-pemeluknya Tidak ada keengganan untuk bergaul, bersahabat, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama, etnis, atau marga, sebab setiap orang memegang teguh keyakinan agamanya masing-masing tanpa bisa dipengaruhi oleh orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Hal ini sangat didukung oleh sikap toleransi yang tinggi di antara umat beragama di Kota Gunungsitoli, secara khusus dalam pelaksanaan-pelaksanaan ibadah dan kegiatan perayaan hari-hari besar keagamaan. Demikian juga tidak pernah ada masalah dalam hal pembangunan rumah-rumah ibadah. Semua hal ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai beberapa kearifan lokal seperti telah disebutkan di atas, yang telah menjiwai dan mendasari kelangsungan kehidupan masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 265 Kota Gunungsitoli dengan segala kearifan lokalnya mengingatkan negara kita yang plural ini bahwa untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama dalam komunitas masyarakat Indonesia ini, sangat dibutuhkan sikap untuk bersedia saling menerima satu sama lain dengan penuh kasih dan ketulusan, tanpa ada rasa curiga atau prasangka buruk apa pun terhadap satu dengan lainnya. Harmoni sosial antarumat beragama seperti ini menunjukkan kedewasaan dan kematangan masyarakat Kota Gunungsitoli dalam memahami kehidupan keagamaan sebagai alat perekat sosial yang sangat ampuh untuk mempersatukan dan memperdamaikan. Olaf H. Schuman mengatakan bahwa Toleransi beragama membutuhkan manusia yang memiliki mentalitas matang serta dewasa dan mampu mengendalikan emosinya. Di bidang keagamaan, kita selalu menemukan bahwa orang-orang yang bersikap paling toleran terdiri dari mereka yang sadar serta kokoh dalam memegang Hanya dengan cara ini dapat tercipta suatu harmoni sosial antarumat beragama di Indonesia. Bambang Ruseno pernah mengatakan bahwa Kerjasama yang sesungguhnya berawal manakala baik golongan Muslim maupun Kristen sama-sama mengakui bahwa belajar untuk hidup bersama sebagai kesetiaannya kepada Tuhan, untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia serta pembangunan 24 Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009, h. 59. 266 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 bangsa adalah lebih penting daripada perpecahan dan permusuhan yang Eka Darmaputera juga pernah mengatakan bahwa Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain,26 Kutipan di atas semakin memperjelas kepada kita bahwa setiap orang di muka bumi ini bertanggung jawab untuk perdamaian di tengah-tengah komunitas di mana kita hidup dan berkarya. Sehubungan dengan tanggung jawab ini, mungkin kata-kata Henry Nouwen berikut bisa memberi inspirasi bagi kehidupan bersama di Indonesia Panggilan kita adalah sebuah kehidupan penciptaan damai di mana semua yang kita lakukan, katakan, pikirkan, atau mimpikan merupakan bagian dari kepedulian kita untuk menciptakan perdamaian Dalam konteks perdamaian global, Paul F. Knitter juga mengatakan bahwa tidak ada damai di antara bangsa-bangsa 25 Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama Di Bumi Pancasila Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Malang Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993, h. 273. 26 Eka Darmaputera, ‚Teologi Persahabatan Antar Umat Beragama‛, dalam Keadilan Bagi Yang Lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA., Karel Erari, Jakarta, tanpa penerbit 1995, h. 194. 27 Henry Nouwen, The Road To Peace Karya Untuk Pendamaian Dan Keadilan. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2004, h. 56-57. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 267 kecuali ada damai dan kerja sama di antara Adalah sebuah kenyataan sosial bahwa setiap orang dari golongan suku, agama, dan ras manapun pasti saling membutuhkan. Karena itu, setiap orang harus menjalin hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sosial. Arie Jan Plaisier mengungkapkan hal ini dalam salah satu bukunya, sebagai berikut Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang Demikian juga Broto Semedi, menyatakan hal ini dalam salah satu tulisannya Kita menjalani dan menjalankan kehidupan di dalam kehidupan bersama masyarakat bersama-sama dengan orang-orang yang meyakini/menganut filsafat hidup atau agama yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan bersama yang demikian itu, sikap dasar kita ialah memandang-menerima-memperlakukan setiap orang di dalam kehidupan bersama siapa pun, suku bangsa apa pun, dengan warna kulit bagaimana pun, apa pun jenis kelaminnya, penganut filsafat hidup atau agama mana pun, apa pun posisi sosialnya, sebagai sesama manusia, dengan martabat manusia 28 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama. Penerbit Kanisius, 2008 h. 290. 29 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2002 h. 103. 268 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 yang sama yaitu partner eksistensial Allah, oleh karena itu memiliki hak asasi yang KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan realitas sosial di atas, secara umum kita dapat menarik kesimpulan bahwa Kota Gunungsitoli merupakan salah satu komunitas masyarakat damai di Indonesia. Meskipun ia merupakan sebuah masyarakat agamis yang pluralistik, semua individu dan kelompok masyarakat yang ada di dalamnya hidup berdampingan secara damai dan penuh kekeluargaan. Semua hal ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai beberapa kearifan lokal seperti telah disebutkan di atas, yang telah menjiwai dan mendasari kelangsungan kehidupan masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. Kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Nias yang juga berlaku di Kota Gunungsitoloyang meliputi Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö dan pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang sangat kuat bagi pemeluk-pemeluknya yang agamis-pluralistik memiliki hubungan yang sangat erat terhadap terciptanya dan terpeliharanya harmoni sosial yang ada di dalamnya. Secara khusus harmoni sosial ini tercipta dalam hubungan antarumat 30 Broto Semedi W., ‚Kita Di Dalam Pluralitas Agama‛, dalam Iman dan Kepedulian Sosial, Daniel Nuhamara, et al., Salatiga Satya Wacana University Press, 2005 h. 49. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 269 beragama di Kota Gunungsitoli. Masyarakat Kota Gunungsitoli telah menunjukkan, bahwa fakta pluralitas, baik perbedaan etnis maupun agama bukanlah penghalang untuk bisa hidup bersama secara damai dan penuh kekeluargaan. Istilah banua dalam perspektif etnisitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas secara sosiologis, yaitu keseluruhan masyarakat Nias, tanpa harus mengelompokkan berdasarkan agama atau etnis yang berbeda-beda. Sehingga, etnis Nias sebagai kelompok mayoritas tidak memposisikan diri sebagai in group yang mendiskriminasi kelompok lain yang minoritas. Perasaan etnisitas masyarakat Gunungsitoli tidak hanya terbentuk dan terjalin dalam relasi internal salah satu etnis saja, melainkan terbentuk dari beberapa etnis yang terlihat dalam hubungan sosial di antara kelompok-kelompok etnis yang ada di Gunungsitoli. Hal ini mengingatkan kita kembali bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di tiap-tiap daerah di Indonesia perlu digali maknanya kembali untuk dapat direlevansikan semaksimal mungkin bagi penciptaan harmoni sosial di tengah-tengah kemajemukan kita. Hal ini patut dipikirkan dan disikapi bersama demi menuju Indonesia yang damai dan harmonis di masa kini dan masa mendatang. Salam damai Indonesia..! ... Fa`atalifusöta merupakan kata yang memiliki makna pertalian persaudaraan. Menurut Suwartiningsih & Samiyono, 2014, fa`atalifusöta tidak hanya berdasarkan hubungan darah, melainkan sambua banua meskipun berbeda marga, suku dan agama. Orang Nias sangat menjunjung tinggi persaudaraan. ... Marinu WaruwuTujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Nias. Kajian pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Nias belum banyak dilakukan para peneliti terdahulu. Peneliti menawarkan local wisdom Nias sebagai salah satu alternatif pengembangan pendidikan karakter pada masa kini dan mendatang. Metode penelitian yang dilakukan adalah systematic literature review SLR melalui sumber-sumber yang relevan seperti buku, jurnal nasional maupun internasional, kebijakan pemerintahan dan dokumen yang relevan lainnya. Analisa data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal memiliki pengaruh positif pada peningkatan karakter peserta didik. Kearifan lokal Nias seperti fangowai niha Yaahowu; fame`e fegero; fa`atalifusöta; falulusa halöwö; samaeri perlu menjadi prioritas utama pada peningkatan karakter peserta didik melalui model keteladanan, pembiasaan dan penerapan pada kegiatan akademik dan non akademik. Kata kunci Pendidikan; Karakter; Kearifan; Lokal; Literatur, AkademikYunida Bawamenewi Yonatan Alex ArifiantoEach tribe and belief adopted from various regions has its own way of expressing its culture and beliefs, which can be seen from the way the community performs ritual events as a tradition in each tribe regarding the culture and beliefs they hold. The writing in this paper uses literature research where the research method is carried out with a descriptive qualitative approach and hopes that the people on Nias Island view every tradition that exists on Nias Island from a Christian point of view and can provide an understanding that every tradition on Nias Island, has a very beautiful and unique meaning, and invites the people of Nias to always maintain, develop and preserve the existing culture based on Bible truth. AbstrakSetiap suku dan kepercayaan yang dianut dari berbagai daerah memiliki tata cara tersendiri dalam mengungkapkan kebudayaan dan kepercayaannya yang dapat dilihat dari cara masyarakat melakukan acara ritual sebagai tradisi di setiap suku yang menyangkut kebudayaan dan kepercayaan yang dianut. Penulisan dalam paper ini, dengan menggunakan penelitian pustaka dimana metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan berharap masyarakat di Pulau Nias memandang setiap tradisi yang ada di Pulau Nias dari sudut pandang ke Kristenan serta dapat memberikan pemahaman bahwa setiap tradisi yang ada di Pulau Nias, memiliki makna yang sangat indah dan unik, serta mengajak masyarakat Nias untuk selau menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya yang ada berdasarkan pada kebenaran Marnila ZebuaTuti Rahayu- This study aims to describe the function of Folaya at the Foko'o Simate event in the traditional ceremony of the death of the Nias community, especially in Hiliweto village, Gido District, Nias Regency. The theory used in this study is the theory of M. Jazuli about the function of dance as a means of traditional ceremonies related to events in human life in the form of death. The population in this study is the Nias community in Hiliweto Village, Gido District, Nias Regency, such as traditional leaders, community leaders, artists and cultural experts. The sample refers to 6 people, namely 2 artists, 2 cultural observers, 1 traditional leader and 1 community leader who clearly know about Folaya at the Nias community death ceremony. The research method used in this research is descriptive qualitative method with data collection techniques in the form of observation, interviews and documentation in the field. In qualitative research methods, research results are described and described in accordance with the facts on the ground. The results of the study indicate that Folaya functions as a means of traditional ceremonies in the Nias community's death ceremony which is a medium for conveying respect to someone who has died. Keywords Folaya, Function, Death Ceremony Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi Folaya pada acara Foko’o Simate dalam upacara adat kematian masyarakat Nias khususnya di desa Hiliweto, Kecamatan Gido, Kabuparen Nias. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari M. Jazuli tentang fungsi tari sebagai sarana upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa kehidupan manusia berupa kematian. Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat Nias yang ada di Desa Hiliweto, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, seniman dan budayawan. Sampel merujuk pada 6 orang yaitu 2 seniman, 2 budayawan, 1 tokoh adat dan 1 tokoh masyarakat yang mengetahui secara jelas tentang Folaya pada upacara kematian masyarakat Nias. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi di lapangan. Dalam metode penelitian kualitatif, hasil penelitian digambarkan dan diuraikan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Hasil penelitian mengatakan bahwa Folaya berfungsi sebagai sarana upacara adat dalam upacara kematian masyarakat Nias yang menjadi media penyampaian rasa hormat kepada seseorang yang sudah meninggal. Kata Kunci Folaya, Fungsi, Upacara Berkat GeaThis study aims to describe the orientation of Nias cultural values in the lyrics of the maena at the falöwa traditional ceremony in Gunungsitoli. The research was conducted using a qualitative method with an anthropolinguistic approach. The data in this study is a snippet of the lyrics of the maena at the traditional falöwa wedding ceremony, either spoken orally or a collection of written lyrics. Primary data sources are the results of interviews with informants and recordings of playing. The secondary data source is the maena lyric text in the book "Maena Nias – Means of Delivering Messages and Life Stories of the Nias Society," published by the Nias Heritage Museum, 2018. Data were collected using observation and interview methods. The observation method is carried out using the tapping and nonparticipation and the recording techniques as further techniques. The interview method uses direct interview techniques. Then, the data were analyzed in stages 1 data reduction, 2 data presentation, and 3 making conclusions/verification. In the analysis process, the researcher also validated the data by applying data triangulation. The triangulation used in this study is source triangulation. The study results concluded that, first, the society of Nias interprets the nature of life as something that needs to be fought for. Second, the society of Nias views that the nature of the work can increase the position and honor of humans in their environment. Third, Nias society view that humans are influenced by space and time. Fourth, Nias society views the importance of harmonious relations between humans and their natural surroundings. Fifth, Nias society upholds human relations with each has not been able to resolve any references for this publication. 5 Jangan memikirkan perspektif orang lain. Hal ini merupakan hal yang sangat penting. ketika kita sedang melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan, jangan pernah memikirkan perspektif orang lain terhadap diri kita. Perspektif orang lain berada di luar kehendak kita, sehingga kita tidak akan bisa membuat semua orang menjadi senang terhadap diri kita. Fatele Tari Perang - niasoke Indonesia memiliki banyak suku yaitu sekitar suku bangsa menurut data BPS tahun 2010. Masing-masing suku memiliki ciri khas dan bahasa daerah yang berbeda-beda. Salah satunya adalah suku Nias yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Beginilah sikap dan perilaku masyarakat Nias yang berada di Kepulauan bekerjasama dan bergotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dengan peribahasa nias atau amaidola “Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso, alisi tafadaya-daya, hulu tafadaya-daya”.Gemar melaksanakan owasa pesta besar. Pada zaman dahulu owasa tidaklah sembarangan untuk dilaksanakan, kepada setiap orang yang telah melakukan owasa maka berhak mendapatkan gelar sanuhe Kepala. Namun pesta sekaran yang dimaksud seperti pesta pernikahan, kematian, kelahiran dan acara-acara ucapan syukur menghormati tamu, setiap tamu yang datang akan disuguhkan sirih afo sebagai wujud penghormatan kepada tamu tersebut. Afo sering kita temui di acara-acara penting adat dipuji, disanjung, dan sangat mempertahankan harga diri. Hal ini dapat dilihat dari peribahasa “Sokhi mate moroi aila” Labih baik mati daripada malu. Hal ini dapat diartikan secara postif maupun negatif. Secara positif diartikan masyarakat Nias adalah masyarakat yang berbudaya, bermatabat dan beradab, sehingga lebih baik mati untuk mempertahankan itu dari pada harus menanggung malu. Jika diartikan secara negatif, masyarakat Nias sulit maju, sulit berkembang dikarenakan mempertahankan gengsi dan harga berdamai, perilaku masyarakat yang penuh cinta kasih, rukun dan damai menjadi keseharian masyarakat Nias, ini dibuktikan dari kebiasaan masyarakat Nias yang suka berkumpul dengan keluarga besar. Mudah tersinggung, dalam hal yang menyangkut unsur suku dan adat istiadat apabila yang kurang sesuai ini bisa menjadi salah satu pemicu yang kuat untuk aturan, pada dasarnya masyarakat Nias memegang teguh budaya yang dimiliki dan taat aturan. Hal ini terbukti dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat Nias dalam keseharan, mulai dari pernikahan, kelahiran, pemberian nama anak hingga kematian. Semua telah ditulis dalam aturan kebiasaan sesuai kesepakatan dan beberapa sikap dan perilaku masyarakat Nias yang berada di Kepulauan Nias. Adatujuh sifat buruk yang biasa orang lakukan, yaitu marah, rakus, malas, tamak, cemburu, sombong, dan napsu. Apa yang terpikir oleh Anda saat mendengar kata “naif”? Kebanyakan orang menganggap naif sebagai sesuatu yang buruk. Padahal, naif memiliki arti luas yang bisa bermakna positif maupun negatif. Simak uraian berikut ini untuk mengetahui lebih lanjut. Apa itu naif? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI naif memiliki dua arti. Pertama, naif artinya sangat bersahaja, tidak banyak tingkah, lugu karena usia muda dan kurang pengalaman, dan sederhana. Kedua, naif artinya celaka, bodoh, dan tidak masuk akal. Hal ini menunjukkan bahwa naif memiliki arti luas, bisa positif maupun negatif, tergantung kondisi atau situasinya. Lantas, menjadi orang naif itu baik atau buruk? Orang naif adalah orang yang polos, kurang pengalaman, kurang bijaksana, dan terlalu lurus. Pada kondisi tertentu, sifat ini mungkin terkesan buruk karena bisa sangat mudah percaya atau dimanfaatkan orang lain. Namun, pada beberapa kondisi, kenaifan tak selamanya buruk. Sifat ini bisa membawa rasa optimis terhadap sesuatu. Kenaifan Anda mungkin tampak sebagai itikad baik atau kebaikan hati bagi orang lain. Ciri-ciri orang naif Untuk lebih memahami apa itu naif, Anda perlu mengenali ciri-ciri orang naif berikut ini Mudah percaya dan terlalu percaya pada orang lain meskipun telah berkali-kali dibohongi Mudah tertipu Mudah dan sering dimanfaatkan orang lain Mudah dipengaruhi orang lain Kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam hidup Usia terlalu muda Sangat bergantung pada orang lain dan tidak dapat berfungsi tanpa orang lain Kurang mampu memahami pembicaraan Selalu terlindungi, misalnya memiliki orang tua yang overprotektif Takut menerima tantangan, tidak mau mengambil risiko, dan enggan keluar dari zona nyaman Sifat naif pada seseorang bisa dipengaruhi oleh usia. Anda mungkin memiliki sifat naif karena masih muda, sehingga kurang bijaksana dalam memandang sesuatu. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman saat masih muda juga bisa membuat seseorang menjadi naif. Sebuah penelitian yang dikutip Science Daily menyatakan bahwa orang yang lebih tua cenderung lebih baik dan lebih akurat dalam memperkirakan sesuatu dibandingkan anak muda. Pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak adalah faktor yang mendasarinya. Cara mengatasi sifat naif yang negatif Pada dasarnya, sifat naif bisa diubah. Anda mungkin khawatir sikap ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itu, Anda perlu menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu tanpa mengurangi rasa optimisme atau kebaikan hati Anda. Berikut ini beberapa cara mengatasi sifat naif yang negatif sekaligus memperbaiki diri Anda Luangkan waktu untuk introspeksi diri serta mengenali perasaan dan pikiran Anda. Luangkan waktu sejenak untuk berpikir sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu. Luangkan waktu untuk berpikir dan melihat sesuatu dari segala sudut pandang sebelum mengambil keputusan. Tingkatkan kewaspadaan dan selalu berhati-hati. Tingkatkan kesadaran, fokus, dan konsentrasi, serta hindari terhanyut dalam pikiran Mendengarkan dengan penuh perhatian. Tingkatkan pengetahuan dan pengalaman dengan membaca, mengikuti pelatihan atau webinar, mendengarkan podcast, atau melakukan hal-hal baru. Tetap percaya pada orang lain, tetapi belajarlah untuk mengenali tanda-tanda kebohongan orang lain agar tidak mudah dibohongi. Networking atau berikan kesempatan pada diri Anda untuk bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Jangan takut untuk mempercayai firasat Anda.. Catatan dari SehatQ Naif adalah suatu sifat yang bisa dimaknai dengan positif maupun negatif. Sifat yang terlalu naif mungkin membuat seseorang lebih mudah tertipu atau dimanfaatkan orang lain. Di satu sisi, kenaifan bisa membantu Anda lebih optimis dalam melihat sesuatu. Hal terpenting adalah terus belajar dan berani melihat dunia luar lebih luas agar pengetahuan dan pengalaman lebih kaya. Ini bisa menghindari Anda dari sifat naif yang negatif. Dengan begitu, Anda juga bisa lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Jika masih ada pertanyaan seputar apa itu naif atau masalah pada perilaku lainnya, Anda juga bisa bertanya melalui fitur chat dokter di aplikasi kesehatan keluarga SehatQ. Download aplikasinya di App Store dan Google Play sekarang! 22Sifat Buruk Bangsa Israel Dalam Al-Qur'an Hingga Selasa (1/6/2010), dilaporkan 19 orang aktivis kemanusiaan tewas dalam penyergapan tentara Israel tersebut dan puluhan orang lainnya terluka. Namun sebelum tragedi Mavi terjadi, bangsa zionis ini sudah menumpahkan darah dengan membantai secara keji dan biadab rakyat Palestina. loading...Selain berisi panduan, Al-Quran juga berisi peringatan. Di antaranya adalah peringatan atas sifat negatif atau sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Foto ilustrasi/ist Selain berisi panduan, Al-Qur'an juga berisi peringatan. Di antaranya adalah peringatan atas sifat negatif atau sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Sifat apa sajakah itu?Dirangkum dari berbagai sumber, berikut sifat-sifat buruk manusia yang tercantum dalam Al-Qur'an, dan seringkali diabaikan, yakni1. Suka mengeluhFirman Allah Ta'alaŰ§ÙÙ†Ù‘ÙŽ Ű§Ù„ÛĄŰ§ÙÙ†ÛĄŰłÙŽŰ§Ù†ÙŽ ŰźÙÙ„ÙÙ‚ÙŽ Ù‡ÙŽÙ„ÙÙˆÛĄŰčÙ‹Ű§ ۙ‏"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir." QS. Al-Ma’arij 19 Baca Juga Dari ayat di atas, dapat kita temukan salah satu sifat manusia yaitu suka berkeluh kesah, ketika menghadapi musibah dan masalah sekecil apa pun. Ini adalah sifat asal saat penciptaan manusia. Namun demikian, sebenarnya sifat ini memiliki hikmah ketika manusia diberi ujian. Masalah adalah salah satu ujian Allah untuk hamba-Nya. Dua hal yang tidak bersifat permanen di dunia ini dan sering menjadi masalah bagi hamba adalah kesehatan dan rezeki. Namun, perubahan siklus kesehatan dan rezeki bertujuan sebagai sarana yang selalu dekat dengan Allah akan selamat dari kelemahan karakteristik ini. Saat diuji, ia akan langsung menyerahkan diri kepada Allah dan memohon KikirDari ayat 19 surah Al-Ma’arij di atas juga dapat kita temukan sifat lain dari manusia, yaitu bersifat kikir. Manusia sangat tamak dan suka menumpuk-numpuk harta. Namun, jika dijalankan sesuai ajaran agama, menjauhi sifat tamak ini adalah jalan menuju tamak membuat manusia gemar mengumpulkan harta, namun agama menyuruh untuk menginfakkannya di jalan Allah, maka ia menjadi harga menuju surga. Mata ingin terus tidur saat waktu subuh, namun agama menyuruh untuk bangun dan menunaikan shalat subuh. Maka, jalan-jalan yang merupakan kebalikan dari sifat tercela adalah jalan menuju surga. Baca Juga 3. Sikap zalim dan Ta'ala berfirman “... sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” QS. Al-Ahzab 72.Kezaliman dan kebodohan manusia dalam ayat di atas disebabkan karena rusak dan kotornya bumi, karena pertumpahan darah dan ulah manusia itu sendiri yang tidak merawat bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan Tidak adil adalah tindakan yang terkadang kurang mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kaum Madyan yang tidak berlaku adil, akhirnya diazab oleh Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dan Syu'aib berkata, Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” QS. Hud 85.Betapa pun sulitnya menghindari tabiat yang sudah Allah lekatkan dalam diri manusia, dengan bertobat dan terus berdoa kepada-Nya, niscaya Allah meminimalkan karakter buruk tersebut dari dalam diri kita. Baca Juga Wallahu A'lam wid
SifatManusia - Setiap manusia pasti memiliki sifat dalam perjalanan waktunya menjadi dewasa. Dengan beberapa faktor tersebutlah seseorang akan memiliki sifat-sifat, baik sifat manusia yang positif maupun negatif. Itulah sebabnya Grameds pasti tidak selalu bertemu dengan orang yang baik saja, namun tetap ada saja manusia yang memiliki sifat buruk di dunia ini.
Mari Tampilkan Keunikan Nias dan Menjauhkan Sifat Buruk Tanö Niha memang tidak memiliki banyak kelebihan, tapi melalui ini saya menghimbau mari kita tnjolkan keunikan yang dimiliki oleh Tanö Niha. misalnya Soal pantai, di dunia ini sudah banyak pantai yang sangat bagus, terawat dengan baik, dan telah didukung oleh infrastruktur yang memadai, begitu juga kalau berbicara soal danau, di dunia ini sudah banyak danau yang indah-indah. Jadi, kalau kita ingin menarik perhatian turis ke Tanö Niha, Nias harus mencari dan menonjolkan hal-hal yang unik yang relatif susah ditemukan padanannya di luar Nias, misalnya, kehidupan tradisional yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Nias, yang menurut kita suatu hal yang biasa saja, bisa menjadi hal yang luar biasa atau unik bagi orang luar. Coba perhatikan komunitas warga yang bisa hidup berdampingan dalam satu lokasi perumahan tradisional di Bawömataluo di Nias Selatan, apakah itu bukan suatu hal yang unik bila dikemas dengan kreatif? Keunikan-keunikan seperti inilah yang seharusnya digali, dikemas, dan ditawarkan untuk konsumsi orang luar. Setahu saya ada beberapa keunikan-keunikan yang memiliki prospek di Nias antara lain peninggalan budaya megalitik, perkampungan tradisional, kehidupan masyarakat seperti berburu babi hutan, harimbale, dan masih banyak lagi yang lain-lain. Jika kita mau menjual, misalnya, cara beburu babi hutan, maka proses dan prosedur berburu mulai dari persiapan, cara berkelompok, cara bekerjasama dalam mengejar buruan, sampai dengan pembagian hasil buruan adalah suatu hal yang sangat menarik dipertunjukkan. Bahkan kalau kita jujur kondisi data sekarang ini khususnya generasi sekarang, proses berburu ini termasuk langka dan banyak yang sudah tidak mengetahui, nah sudah pasti sangat menarik untuk diketahui oleh mereka dan apalagi kalau kita persembahkan dan dikemas menarik buat wisatawan. Bersama ini juga saya menyinggung ucapan yang pernah disampaikan oleh Bapak Agus Hardian Mendrofa, mantan Wakil Bupati Nias 2001-2006 dimana ada beberapa sifat-sifat khas orang Nias yang lebih sering menjadi penghambat daripada menjadi pendorong kemajuan. “Sebelum kita lahir, di Nias sudah ada penyakit AIDS. AIDS yang saya maksud adalah Angkuh, Iri, Dengki, dan Sombong. Dan sebelum ada ada HP Hand Phone, istilah SMS juga sudah ada di Nias, Susah Melihat Senang orang lain sebaliknya Senang Melihat Susah orang lain.” kita yakin bahwa bibit AIDS dan SMS ini, diakui atau tidak diakui, pasti dimiliki oleh semua orang Nias, tanpa terkecuali. “Saya sendiri memiliki bibit tersebut. Namun, upaya kita sekarang adalah bagaimana caranya agar sifat-sifat seperti ini dapat dihilangkan, paling tidak diminimalkan” mankepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-poko k iman yang enam (UshĂ»l al-ÎmĂąn as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya.Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkar i Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburka nnya, baik melalui tulisan-tu lisan, maupun di bangku-ban gku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits

Pengen tahu lebih banyak tentang Suku Nias? Berikut diuraikan bagaimana sifat dan karakter Orang Nias pada umumnya. Namun sebelumnya, perlu diketahui bahwa artikel ini tidak bertujuan untuk merendahkan apalagi menghina suku maupun identitas personal Nias, melainkan untuk berbagi pengetahuan umum yang dianggap layak dan bermanfaat. Dengan kata lain, publikasi konten ini dilakukan dengan itikad baik dan diharapkan memberikan manfaat positif kepada pembaca yang ingin mengenal dan bersahabat dengan masyarakat Ono Niha. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sifat dan karakter tersendiri sebagai makhluk sosial. Hal ini cenderung menjadi keunikan pribadi tersebut bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor luar dirinya seperti lingkungan sosial; termasuk adat istiadat suatu adat istiadat juga memiliki dampak yang begitu besar dalam membentuk sifat seseorang selama memberlangsungkan kehidupan di Sifat dan KarakterSecara sederhana, sifat dapat didefinisikan sebagai ciri khas atau rupa dan keadaan yang melekat pada diri seorang individu. Sifat dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal diri manusia seperti pergaulan, pendidikan dan lain sebagainya, yang masih memungkinkan untuk bisa diubah. Sementara karakter, adalah sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sifat dan Karakter Orang Nias Sifat dan karakter ini adalah fenomena kehidupan sosial Nias sehari-hari, antara lain1. Mudah Bergaul Orang Nias biasanya mudah bergaul dengan orang-orang baru. Hal ini menandakan mereka tidak menutup diri untuk berteman dengan banyak orang tanpa membedakan status suku, agama, ras, antargolongan, warna kulit dan lainnya. Pergaulan yang dimaksudkan adalah pergaulan positif. Sementara untuk hal yang tidak baik, mereka cenderung menutup diri dan menghindar. Ono Niha. Licensed by M. Dhea Sonya Zend2. Mudah Memaafkan Secara umum, orang Nias dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yang mudah memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini populer dengan istilah "aya khöu wa'ebolo dödö". Artinya, kalungmu adalah kesabaran. Dengan kata lain, seseorang dianggap berjiwa besar jika ingin memaafkan orang lain atas suatu kesalahan yang telah karena itu, apabila pernah berbuat salah, jangan sungkan untuk meminta maaf. Sebab, itu lebih baik dan bernilai positif. 3. Toleran dan Suka DamaiOno Niha memiliki sifat toleran dengan berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam hal perbedaan kepercayaan. Orang Nias tidak merasa terganggu dengan perbedaan kepercayaan antara satu dengan yang lain. Dalam kultur Nias, tidak menghargai/menghormati orang lain adalah perbuatan tidak terpuji dan dianggap sebagai seseorang yang tidak tahu aturan adat. Hal ini populer dengan istilah "Si lö mangila huku". Artinya, seseorang yang tidak tahu hukum/ Suka Bekerja Sama Sejak dahulu kala, masyarakat Nias selalu mewujudkan sifat kerja sama dalam gotong royong. Gotong royong pun hingga pada saat ini masih tetap dilaksanakan. Bahkan, dengan berkerjasama seperti ini, mereka biasanya tidak menuntut upah kerja hingga misi kerja ini populer dengan istilah "Aoha Noro Niluli Wahea, Aoha Noro Nilului Waoso". Artinya, Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 5. Kukuh dalam persatuan SolidSesuai dengan aturan adat Nias, masyarakat wajib memiliki sifat yang kukuh dalam persatuan/ kebersamaan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam melaksanakan suatu kegiatan yang membutuhkan banyak orang. Termasuk saat menghadapi kubu yang dianggap sebagai musuh pada masa lampau. Sifat ini masih juga terbawa-bawa hingga saat ini. Artinya, jika sesuatu terjadi dengan komunitasnya, mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja sebelum mereka Rela Mati daripada Malu Bukan rahasia lagi jika orang Nias memiliki sifat khas yang populer dengan istilah "Sökhi Mate Moroi Na Aila". Artinya, lebih baik mati daripada malu. Tetapi, jangan salah paham dulu. Hal ini tidak terjadi pada semua aspek kehidupan mereka. Memang, hal ini didasari pada sistem adat Nias yang tegas; yang telah dicetuskan para leluhur sejak dahulu kala. Umumnya, sifat ini muncul ketika mereka merasa terancam atau berada di bawah tekanan secara terus-menerus dengan pihak tertentu yang tidak bisa ditolerir lagi. Meskipun demikian, ingatlah bahwa orang Nias juga bersifat mudah memaafkan. 7. Keras Kemauan Tak dapat disangkal bahwa umumnya orang Nias juga memiliki sifat keras kemauan. Kemauan yang dimaksudkan adalah keinginan yang kuat untuk mencapai atau memperoleh sesuatu yang telah dicita-citakan sebelumnya. Dengan sifat ini, mereka umumnya menjadi pekerja keras demi mencapai mengerjakan apa saja yang dianggap baik dan tidak melanggar hukum asalkan bisa berhasil di kemudian Sopan dalam Tindak Tutur Sesuai dengan sistem adat Nias secara keseluruhan yang ikut mempengaruhi sifat dan karakter masyarakatnya, terdapat satu perilaku yang biasanya ditradisikan dari generasi ke generasi adalah sopan dalam bertutur kata kepada orang kehidupan Ono Niha, biasanya mereka sangat menghormati orang yang lebih tua. Menyebut nama asli, apalagi dengan tujuan menghina dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas/tidak beretiket. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Nias lebih suka memanggil seseorang dengan nama gelar atau marga saja. Hal ini populer dengan istilah "Moroi Khömö Zumangemö". Artinya, dari dirimulah penghormatanmu/caramu menentukan orang lain memperlakukanmu. Apabila anda menghargai orang lain, mereka pun akan melakukan hal yang sama sebaliknya untuk Suka Menolong Orang Nias juga sama dengan masyarakat lainnya di dunia. Mereka suka memberikan pertolong kepada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak berbatas pada hubungan kekeluargaan saja. Bahkan, mereka dapat menolong seseorang yang belum dikenal sama-sekali. Misalnya, pergi berwisata ke suatu tempat di wilayah Pulau Nias dan akhirnya tersesat ketika melintasi daerah yang jauh dari permukiman warga. Tak perlu takut. Apabila bertemu orang-orang yang sedang bekerja di kebun/ladang, anda dapat meminta pertolongan kepada mereka. Yang jelasnya, anda juga perlu memberitahu siapa anda dan bagaimana bisa sampai pada alamat yang tidak tepat. Yakinlah, orang Nias tidak sejahat yang diironiskan oleh banyak orang tidak bertanggung jawab. Tahu, tidak? Sistem kehidupan orang Nias menganut paham "Fatalifusöta". Artinya, Persaudaraan. Semua orang yang mereka tahu baik dan tidak membahayakan akan dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Ini berlaku untuk semua orang, baik saudara, bukan saudara, kenal atau belum Protektif Salah satu sifat unik lainnya yaitu protektif. Tidak dapat disangkal jika sifat ini umumnya dimiliki oleh orang Nias. Protektif yang dimaksudkan di sini adalah "bersifat melindungi". Umumnya, sifat ini sangat terlihat jelas pada orangtua yang telah memiliki buah hati. Selain untuk anak laki-laki, mereka juga sangat protektif terhadap pergaulan anak perempuannya. Umumnya, mereka tidak rela membiarkan buah hati mereka hidup sendiri tanpa perhatian dari orang tua. Dalam kulturnya, fakta unik perempuan Nias juga telah dijabarkan lebih jelas. Di sana, anda bisa mengenal bagaimana perempuan di Nias diperlakukan secara terhormat. Perempuan Nias - Licensed by Dhea SonyaPerlu diketahui juga bahwa ini tidak berarti orang Nias tidak percaya kepada anak-anaknya. Mereka pun memberikan kebebasan untuk mencapai cita-cita dalam dunia pendidikan di mana pun mereka inginkan. Tetapi, khusus untuk pergaulan, semuanya dalam batas wajar yang dianggap Sayang Keluarga Sifat orang Nias lainnya yaitu "Sayang dengan keluarga". Seperti masyarakat lainnya, orang Nias juga sangat menyayangi keluarganya. Mereka biasanya saling dukung mendukung dalam menyukseskan suatu hal dalam itu, anak-anak juga biasanya suka membantu orang tuanya bekerja untuk mencari nafkah selain Berdasarkan pada beberapa sifat masyarakat Nias pada umumnya, mulai dari sifat yang mudah bergaul, mudah memaafkan, toleran dan suka damai, suka bekerja sama, rela mati daripada malu, keras kemauan, sopan dalam tindak tutur, suka menolong, protektif hingga sayang keluarga adalah keunikan orang Nias, Ono demikian, anda tak perlu enggan bergaul dengan masyarakatnya. Kita semua sama, yang penting kita saling menghormati sesama dan berlaku baik. Untuk itu, artikel ini diharapkan dapat membantu anda mengenal lebih jauh tentang Nias dan dapat dipergunakan sebagai rujukan terkait hal yang positif.

6QWCPaM.
  • frie1399hj.pages.dev/82
  • frie1399hj.pages.dev/273
  • frie1399hj.pages.dev/512
  • frie1399hj.pages.dev/251
  • frie1399hj.pages.dev/39
  • frie1399hj.pages.dev/228
  • frie1399hj.pages.dev/414
  • frie1399hj.pages.dev/457
  • sifat buruk orang nias