Hipotesisberasal dari bahasa Yunani: hypo = di bawah; thesis = pendirian, pendapat yang ditegakkan, kepastian. [3] Artinya, hipotesis merupakan sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka kegiatan ilmiah yang mengikuti kaidah-kaidah
Believing in God and not is a human attitude in facing the ontological big reality, including his existence. Various arguments have proven the existence of God whether through ontological, cosmological, or teleological evidence in the context of philosophy and theology. This paper presents Kant's thinking which rejected all these arguments. Using Wittgenstein's method of philosophical investigation, this paper showed that for Kant, such evidence was a futile effort because human reason is limited. Kant argued that through morality, humans can find God and religion. Through morality too, Kant rejected atheism. This study can contribute to the deepening of the discussion on the existence of religion, which has always been the subject of awareness of human existence; as well as being material that can be presented in public discussions to maintain social harmonization. Abstrak. Mempercayai Tuhan dan tidak adalah sikap manusia dalam menghadapi realitas besar ontologis, termasuk keberadaan dirinya. Berbagai argumen telah berupaya untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui bukti ontologis, kosmologis, dan teleologis dalam konteks filsafat dan teologi. Tulisan ini menghadirkan pemikiran Kant yang menolak semua argumentasi itu. Dengan metode investigasi filosofis ala Wittgenstein, tulisan ini menunjukkan bahwa bagi Kant, pembuktian-pembuktian adanya Tuhan tersebut merupakan upaya kesia-siaan lantaran akal budi manusia itu terbatas. Kant mengetengahkan bahwa melalui moralitas, manusia bisa menemukan Tuhan dan agama. Melalui moralitas pula, Kant menolak ateisme. Kajian ini dapat memberikan kontribusi pada pendalaman diskusi tentang eksistensi agama, yang selalu menjadi bahan kesadaran eksistensi manusia; sekaligus menjadi bahan yang dapat dihadirkan pada diskusi-diskusi publik untuk menjaga harmonisasi sosial. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Afirmasi Agama dan Negasi atas Ateisme dalam Pemikiran Kant tentang Moralitas Iventus Ivos Kocu1*; Bhanu Viktorahadi2 Prodi Magister Ilmu Teologi, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan Bandung1 Prodi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan Bandung2 kocuivos Abstract Believing in God and not is a human attitude in facing the ontological big reality, including his existence. Various arguments have proven the existence of God whether through ontological, cosmological, or teleological evidence in the context of philosophy and theology. This paper presents Kant's thinking which rejected all these arguments. Using Wittgenstein's method of philosophical investigation, this paper showed that for Kant, such evidence was a futile effort because human reason is limited. Kant argued that through morality, humans can find God and religion. Through morality too, Kant rejected atheism. This study can contribute to the deepening of the discussion on the existence of religion, which has always been the subject of awareness of human existence; as well as being material that can be presented in public discussions to maintain social harmonization. Keywords religion; ontology; cosmology; teleology; moral; atheism; God Abstrak Mempercayai Tuhan dan tidak adalah sikap manusia dalam menghadapi realitas besar ontologis, termasuk keberadaan dirinya. Berbagai argumen telah berupaya untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui bukti ontologis, kosmologis, dan teleologis dalam konteks filsafat dan teologi. Tulisan ini menghadirkan pemikiran Kant yang menolak semua argumentasi itu. Dengan metode investigasi filosofis ala Wittgenstein, tulisan ini menunjukkan bahwa bagi Kant, pembuktian-pembuktian adanya Tuhan tersebut merupakan upaya kesia-siaan lantaran akal budi manusia itu terbatas. Kant mengetengahkan bahwa melalui moralitas, manusia bisa menemukan Tuhan dan agama. Melalui moralitas pula, Kant menolak ateisme. Kajian ini dapat memberikan kontribusi pada pendalaman diskusi tentang eksistensi agama, yang selalu menjadi bahan kesadaran eksistensi manusia; sekaligus menjadi bahan yang dapat dihadirkan pada diskusi-diskusi publik untuk menjaga harmonisasi sosial. Kata Kunci agama; ontologis; kosmologis; teleologis; moral; Immanuel Kant; ateisme; TuhanSubmitted 23 November 2021 Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Volume 7, Nomor 2 April 2023 ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online PENDAHULUAN Agama, kata sebagian penulis Barat, adalah bentuk kepercayaan buta yang tidak masuk akal, yang sering mengarah pada fa-natisme dan kekerasan. Akal dan sains, menurut mereka, adalah satu-satunya fon-dasi yang tepat untuk membentuk opini dan memahami alam semesta. Mereka yang per-caya pada Tuhan, menurut mereka, jatuh pada takhayul. Serangan ateis ini didasar-kan pada kekeliruan periode pencerahan. Hal ini ditunjukkan oleh filsuf besar periode pencerahan Immanuel Kant. Kant mendiri-kan benteng intelektual melawan ateisme yang belum pernah dilanggar sejak itu. Pembelaannya tidak mengacu pada teks-teks suci atau sumber otoritas lain yang mungkin secara wajar dipercayai orang-orang beriman ketika dihadapkan dengan argumen ateis. Sebaliknya, itu bergantung pada satu-satunya kerangka kerja yang di-yakini valid oleh para pendakwa ateis, yaitu akal. Kekeliruan pencerahan adalah asumsi yang fasih bahwa hanya ada satu batasan untuk realitas itu sendiri. Pandangan ini me-ngatakan bahwa kita dapat mencari tahu le-bih banyak sampai akhirnya tidak ada lagi R. Dawkins and L. Ward, The God Delusion Boston Houghton Mifflin Company, 2006.; Christopher Hitchens, God Is Not Great How Religion Poisons Everything McClelland & Stewart, 2008. yang bisa ditemukan. Ia berpendapat bahwa akal manusia dan sains pada prinsipnya da-pat mengungkap seluruh realitas. Dalam “Critique of Pure Reason”-nya tahun 1781, Kant menunjukkan bahwa premis ini salah. Bahkan, menurutnya, ada batas yang jauh lebih besar dari yang dapat diketahui manusia. Kant menunjukkan bah-wa pengetahuan manusia dibatasi tidak ha-nya oleh besarnya realitas yang tidak terba-tas, tetapi juga oleh alat indera persepsi yang terbatas. Dalam filsafatnya, Kant jus-tru meragukan bukti-bukti rasional tentang eksistensi Tuhan dengan menyelidiki terle-bih dahulu pengetahuan manusia. Kant me-lihat bahwa di dalam diri manusia terdapat tiga tahapan pengetahuan, yaitu “Sinnes-wahrnehmung,” “Verstand,” dan “Vernunft.” Sinneswahrnehmung pengetahuan indera-wi adalah pengetahuan terendah karena di-ketahui melalui pengalaman inderawi. Ver-stand pengetahuan rasional adalah penge-tahuan berdasarkan rasio manusia. Rasio ini yang memberi penalaran secara rasional. Sedangkan Vernunft dimaknai sebagai in-tellectus. Istilah itu merujuk kepada akal budi sebagai tahap tertinggi dalam proses pengetahuan. Immanuel Kant, The Critique of Pure Reason, ed. Norman Kemp Smith London Palgrave Macmillan, 2003. Michael Lewin, “The Universe of Science. The Architectonic Ideas of Science, Sciences and Their Parts in Kant,” Kantian Journal 39, no. 2 2020 26–45. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Penelitian ini bertujuan untuk mela-wan semua bukti rasional tentang Tuhan. Alasannya, bagi Kant, setiap putusan jud-gement harus mengungkapkan suatu sinte-sis dari yang empiris. Tuhan adalah realitas transempiris. Oleh karena itu, yang trans-empiris realitas Tuhan tidak dapat dikenal dari alam empiris. Upaya untuk bergerak dari posibilitas kepada aktualitas eksistensi Tuhan tidaklah absah. Upaya ini sekaligus memunculkan pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana manusia dapat mengafirmasi agama dan menegasi ateisme? Namun, se-belumnya harus kita bahas dulu argumen tentang eksistensi Tuhan. METODE PENELITIAN Kajian ini dilakukan dengan meng-gunakan metode investigasi filosofis ala Wittgenstein, dengan menggunakan pemi-kiran Immanuel Kant. tulisan ini menunjuk-kan bahwa bagi Kant, bukti-bukti adanya tersebut merupakan upaya kesia-siaan lan-taran akal budi manusia itu terbatas. Penulis akan memulai bangunan pemikiran dengan menguraikan berbagai diskursus yang beru-paya untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Selanjutnya, penulis akan masuk pada pe-mikiran Kant, yang tentu saja menolak upaya-upaya pembuktian Tuhan secara ra-Juan Morales, “The Ecology of Religious Knowledges,” Religions 13, no. 1 2021 11, https// Kant, The Critique of Pure Reason. sional tersebut. Dan berangkat dari itu se-mua, penulis juga akan mengevaluasi pemi-kiran Kant tersebut, apakah memadai untuk menjawab pertanyaan keberadaan Tuhan. HASIL DAN PEMBAHASAN Argumen-argumen tentang Eksistensi Tuhan Manusia tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan secara tegas, jelas, dan terpilah. Akan tetapi, manusia memiliki pe-ngamatan dan pengalaman yang memberi petunjuk adanya Tuhan. Thomas Aquinas menyebut petunjuk itu sebagai jalan. Jalan itu semacam peta yang dapat memberi pe-tunjuk untuk mempertanggungjawabkan keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Jalan yang dikembangkan Thomas Aquinas ada-lah gerak, sebab, mutlak ada dan mungkin ada, teleologis, dan tingkat kesempurnaan. Jalan Ontologis Dalam karya yang berjudul “Pros-logion,” Anselmus dari Canterbury 1033-1109 membuktikan adanya Tuhan secara filosofis. Sejak Kant, bukti adanya Tuhan serupa ini dinamakan “argumen ontolo-gis.” Menurut Anselmus itu, Tuhan itu Pe-ngada. Sebagai Pengada, tidak ada sesuatu yang dapat dipikirkan lebih besar dari pada-Giovanni Mion, “On Kant’s Hidden Ambivalence toward Existence in His Critique of the Ontological Argument,” Journal of Applied Logics 5, no. 7 2018 1515–1603. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Nya. Menurutnya, yang dipikirkan itu se-banding dengan kenyataan. Sebagai konse-kuensinya, Tuhan bukan saja berada di da-lam pikiran, melainkan juga dalam kenyata-an. Dengan demikian, Tuhan sesungguhnya ada. Itulah argumen ontologis Anselmus. Di sisi lain, Thomas Aquinas me-nyanggah pernyataan Anselmus. Menurut Aquinas, gagasan bahwa Tuhan itu sung-guh-sungguh ada menjadi paradoks. Ala-sannya, sebagian orang berpikir Tuhan se-bagai yang bertubuh. Dengan demikian, Tuhan dapat menyata dalam realitas. Perta-nyaannya, bagaimana Tuhan yang bertubuh itu tidak dapat menyata dalam realitas. Me-nurutnya, Tuhan adalah “causa prima” atau Tuhan yang Mahakuasa dalam konteks de-finisi religius. Berdasarkan gagasan ini Aquinas berpendapat bahwa Tuhan hanya ada di dalam pikiran. Tuhan tidak menyata dalam kenyataan. Alasannya, Tuhan adalah “actus purus” aktus murni. Selain argumen Anselmus, ada Bonaventura, Scotus, Descartes, Leibniz, dan Hegel. Mereka melihat Tuhan dalam Andreas Blank, “Christian Wolff on Common Notions and Duties of Esteem,” Journal of Early Modern Studies 8, no. 1 2019 171–93, https// Anna Case-Winters, “Incarnation In What Sense Is God Really with Us’?,” European Journal for Philosophy of Religion 11, no. 1 2019 19–38, Christian Tapp, “Utrum Verum et Simplex Convertantur. The Simplicity of God in Aquinas and Swinburne,” European Journal for Philosophy of Religion 10, no. 2 2018 23–50, 24204/ pengertian gabungan eksistensial dan esen-sial, seperti halnya filsuf analitik. Menurut Descartes Tuhan adalah gabungan yang identik antara eksistensi dan esensi. Gaga-san dasarnya adalah esensi. Jika manusia berbicara tentang esensi Tuhan, otomatis Tuhan ada. Bagi Descartes, eksistensi dan esensi adalah satu kesatuan di dalam Tuhan. Akibatnya, manusia tidak dapat memisah-kan eksistensi Tuhan dari Descartes, jika manusia secara bebas memikirkan esensi Tuhan, otomatis Tuhan bereksistensi. Demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, apakah ini membuktikan bah-wa Tuhan itu ada? Apakah dari gagasan itu, kenyataan itu ada? Terhadap semua argumen ontologis itu, Kant yang paling terkenal terhadap argumen ontologis adalah karyanya, “Critique of Pure Reason.”
 menolak subjek dan predikat ber-sama-sama, tidak ada kontradiksi; karena tidak ada yang tersisa untuk dikontradiksikan. Menyatakan suatu segitiga tetapi menolak ketiga su-dutnya adalah berkontradiksi pada dirinya sendiri; tidak ada kontradik-Johann Platzer, “Does a Truly Ultimate God Need to Exist?,” Sophia 58, no. 3 2019 359–80, https// Mark C R Smith, “The Uses of Thought and Will Descartes’ Practical Philosophy of Freedom,” The European Legacy 27, no. 3–4 2022 310–20, Platzer, “Does a Truly Ultimate God Need to Exist?” Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil Wm. B. Eerdmans Publishing, 1977, 133-34. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online si di dalam menolak segitiga itu se-kaligus dengan ketiga sudutnya. Hal yang sama juga berlaku bagi konsep tentang suatu keberadaan yang nis-caya secara absolut. Jika eksistensi-nya ditolak, kita menolak keberada-an itu sendiri sekaligus dengan se-mua predikatnya; tidak ada perta-nyaan mengenai kontradiksi yang akan Kant penting karena eksistensi tidak dapat merupakan bagian dari definisi mengenai gagasan apa pun. Sejauh memba-yangkan Tuhan sebagai pengada terbesar yang dapat dibayangkan, manusia tidak da-pat mengembangkan imajinasi bahwa Tuhan ada. Menurut Kant, Tuhan tetap berada di dalam budi. Tidak ada jembatan yang dapat dibangun dari dunia gagasan ke dunia ke-nyataan. Oleh karena itu, Kant mengkritik keras pembuktian ontologis terhadap eksis-tensi Tuhan. Menurutnya, sebutan itu ti-dak mungkin karena tidak ada syarat yang memungkinkan bahwa sesuatu itu gagasannya itu, Kant mene-gaskan bahwa verifikasi ontologis tidak adekuat, bukan hanya berdasarkan gagasan bahwa Tuhan bukanlah objek intuisi, me-lainkan juga berdasarkan transisi dari dunia gejala ke dunia realitas tidaklah legal. Se-lain itu, pembuktian ontologis tentang Tuhan Colin Marshall, “Never Mind the Intuitive Intellect Applying Kant’s Categories to Noumena,” Kantian Review 23, no. 1 2018 27–40, https//doi. org/ Dai Heide, “Rationalism and Kant’s Rejection of the Ontological Argument,” Journal of the History tidak mungkin mutlak karena analogi ten-tang keberadaan Tuhan hanyalah kemung-kinan. Oleh karena itu, diperlukan pembe-daan antara keharusan dari putusan-putusan judgments dengan keharusan dari hal-hal. Maksudnya, jika manusia berpikir bahwa kemahabaikan itu terikat pada Tuhan, keputusan manusia itu harus menunjukkan bahwa Tuhan berada bersama kemahabai-kan-Nya dalam tataran ide. Alasannya, akan terjadi kontradiksi jika Tuhan itu ada. Se-dangkan kemahabaikan-Nya tidak ada. Se-suatu yang tidak mempunyai dasar sama se-kali dalam pengalaman juga tidak dapat di-pikirkan. Jika ada pengalaman, pasti ada se-suatu. Pertanyaannya selanjutnya, manakah pengalaman yang mendukung? Jalan Kosmologis Gagasan mengenai kosmos telah ada sejak era Yunani Kuno. Salah seorang filsuf yang memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan alamiah adalah Demokritos 460-370 SM. Ia memiliki gagasan tertentu tentang kosmos. Menurutnya, semua aspek kosmos yang meliputi manusia di dalamnya berkembang seturut suatu hukum atau seca-ra kebetulan, dari sekadar benda. Sama se-of Philosophy 59, no. 4 2021 583–606, https//doi. org/ Plantinga, God, Freedom, and Evil. Ricardo Silvestre, “A Brief Critical Introduction to the Ontological Argument and Its Formalization Anselm, Gaunilo, Descartes, Leibniz and Kant,” Journal of Applied Logics 5, no. 7 2018 1441–74. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online kali tidak ada roh atau Tuhan. Selanjutnya para kosmolog juga mendapat pengalaman yang tidak terkatakan karena aspek keang-gunan yang diperlihatkan alam semesta. Akibatnya, mereka tertarik untuk meneliti. Penelitian itu lantas memperlihatkan unsur keselarasan kosmos. Sehubungan dengan itu, PoincarĂ© 1902 menegaskan bahwa “dunia ini bersifat ilahi karena keselarasan-nya.”Gagasannya ini bermaksud menun-jukkan bahwa pengetahuan untuk memaha-mi seluruh realitas semesta alam memang terbatas dan diandai bahwa ada suatu “reali-tas ilahi”Sementara itu, argumen-argumen kosmologis lain yang menegaskan eksisten-si Tuhan dimulai dari Descartes dan Spinosa. Leibniz menyusulnya. Dalam pengertian berbeda, jejaknya dapat ditelusuri sampai ke peta metafisikanya, yaitu Leibniz, hubungan antarmonade tidak dapat dijelaskan dari monade itu sen-diri, tetapi ditetapkan sejak awal oleh pen-cipta. Menurut Leibniz, Pencipta itu adalah Christian Vassallo, “Atomism and the Worship of Gods. On Democritus Rational’ Attitude towards Theology,” Philosophie Antique. ProblĂšmes, Renaissances, Usages, no. 18 2018 105–25, Elisabetta Canetta, “Understanding the Relations between Transcendence and Mathematics A Resource Essay for Educators and Students in Catholic Universities to Appreciate Its Deep Meanings,” International Studies in Catholic Education, 2022, 1–15, Tuhan. Menurutnya, sejak awal Tuhan su-dah mengkreasi dunia yang paling baik di-bandingkan segala yang mungkin. Esensi Tuhan itu kebaikan. Oleh karena itu, Tuhan mengkreasi yang terbaik optimal.Selain itu, Leibniz dalam tingkat pe-ngamatan membagi berbagai monade men-jadi tiga macam. Pertama, monade yang ha-nya memiliki gagasan tetapi tidak sadar. Konstelasi monade inilah yang merangkai benda-benda yang tidak organis. Kedua, monade yang mempunyai ide yang sudah sampai kepada taraf pemahaman tetapi be-lum benar-benar jelas. Konstelasi monade inilah yang memberikan identifikasi indera-wi. Ketiga, monade yang memiliki ide jelas dan dipahami apperceptio, yaitu diri ma-nusia yang memahami esensi segala sesuatu dan menyatakannya dalam pengertian. Cara kerja monade yang kedua adalah mengingi-ni appetitus setiap monade mempunyai kekuatan untuk selalu mendapatkan pema-haman ide perceptio yang jelas, sehingga sampai pada gagasan yang jelas dan disada- J. Sudarminta and S. P. Lili Tjahjadi, Dunia Manusia Dan Tuhan Yogyakarta Kanisius, 2008, 92. Bart Kahr, “PoincarĂ© and His Polarization Sphere,” Chirality 33, no. 11 2021 758–72, https// Silvestre, “A Brief Critical Introduction to the Ontological Argument and Its Formalization Anselm, Gaunilo, Descartes, Leibniz and Kant.” Clara Germana Gonçalves, “A Thing of Beauty Is a Joy Forever’ A Transdisciplinary Reading on Creativity,” in Creating Through Mind and Emotions CRC Press, 2022, 357-63. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Selanjutnya, melalui pembagian cara kerja monade, Leibniz dapat menyimpulkan bahwa substansi yang dimaksud adalah Tuhan, jiwa, dan benda. Menurutnya, mo-nade-monade dapat melakukan kegiatan da-lam wujud rangkap, yaitu bertindak dan menderita, pasif dan aktif. Gagasan yang ti-dak jelas dan mengandung materi kebenda-an hanyalah ada pada manusia. Sedangkan yang ada pada Tuhan adalah monade ter-tinggi. Oleh karena itu, Tuhan merupakan suatu wujud aktif yang sempurna actus purus. Wujud ini terlepas dari aneka ma-cam sifat kebendaan. Akan tetapi, ajaran monadologi ini disangsikan, karena pada bentuk ketiga dari monade itu, pemahaman manusia tentang Tuhan dapat disadari ber-dasarkan ratio teoretis. Bagi Kant, gagasan tentang adanya Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai pengetahuan itu, ada argumentasi kosmo-logis dari Hume dan Aquinas. Mereka men-jelaskan kosmologis dari perspektif kausali-tas sebab-akibat. Gagasannya, segala se-suatu memiliki sebab-akibat. Akan tetapi, Kant menegaskan bahwa dalih ini tidak Jasper Reid, “Anne Conway and Her Circle on Monads,” Journal of the History of Philosophy 58, no. 4 2020 679–704, Karin De Boer and Stephen Howard, “A Ground Completely Overgrown Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics,” British Journal for the History of Philosophy 27, no. 2 2019 358–77, Kant, The Critique of Pure Reason. adekuat. Alasannya, dalih ini sekadar ber-basiskan pada prinsip kausalitas. Menurut-nya, kausalitas merupakan salah satu kate-gori yang hanya dianggap sahih dalam ra-nah pengalaman. Kausalitas tidak berlaku pada ranah di luar pengalaman. Manusia hanyalah mikro-kosmos dari semesta ini yang tidak mungkin mampu memahami se-luk beluk makro-kosmos secara jelas, tepat, dan defenitif. Alam semesta itu menimbul-kan hal-hal yang bertentangan atau antino-mi. Artinya, setiap upaya untuk mempero-leh pengetahuan menyangkut totalitas alam semesta pasti memerosokkan manusia ke dalam pengetahuan akan masa lalu akan terus menghantui kosmolo-gi. Betapa pun canggih piranti observasi, himpunan data tidak pernah cukup menen-tukan struktur ruang yang dapat menjelas-kan sejarah alam semesta. Dalam praktik-nya, ilmuwan hampir selalu berhadapan de-ngan lebih dari satu model yang semuanya setara secara empirikKe-gagalan manusia terletak dalam ketidakber-hasilan untuk memediasi antara kedua ku-Mario Pedro Miguel Caimi, “On the Concept of Real Use of Reason,” Open Philosophy 5, no. 1 2022 403–23. Sudarminta and Tjahjadi, Dunia Manusia Dan Tuhan. Evangelos Athanassopoulos and Michael Gr. Voskoglou, “A Philosophical Treatise on the Connection of Scientific Reasoning with Fuzzy Logic,” Mathematics 8, no. 6 2020 875, https// Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online tub, yaitu kutub keterbatasan pada manu-sia dan kutub ketidakterbatasan di luar manusia. Realitas terbatas tidak mungkin bersifat mutlak. Yang disebut mutlak ter-dapat pada yang berasal dari dirinya, bukan dari yang lain. Jika semuanya adalah yang terbatas, manusia akan berhadapan dengan masalah Langkah mundur tanpa akhir. Ada yang beranggapan bahwa yang mutlak ada-lah gabungan dari yang tidak mutlak. Ini se-perti masalah rawa-rawa. Rawa-rawa ver-tumpu pada rawa-rawa. Hasilnya, tidak ada dasar untuk berada. Eksistensi alam raya dengan segala isinya hanya dapat dimenger-ti jika ada realitas mutlak. Alam raya tidak menjelaskan dirinya sendiri. Akan tetapi, realitas di luar alam raya belum tentu Tuhan. Dengan demikian, manusia hanya dapat mengatakan bahwa ada sesuatu yang mutlak yang melampaui alam semesta. Jalan Teleologis Segala sesuatu sifatnya sementara. Pertanyaannya, dari mana asal segala sesua-tu? Pertanyaan berikutnya, setelah berakhir di dunia, ke manakah hal-hal tersebut? Per-tanyaan-pertanyaan terkait teleologi dari se-tiap makhluk ini memantik penyelidikan teoretis dan ilmiah. Dengan kata lain, alam Sudarminta and Tjahjadi, Dunia Manusia Dan Tuhan. Franz Magnis-Suseno, “Allah Dan Alam. Darwinisme, Creatonism, Intellegent Design Sebuah Diskursus Kritis,” Diskursus Jurnal Filsafat Dan Teologi 8, no. 1 2009 6. memilih kemungkinan yang cocok untuk mengadakan kehidupan. Oleh karena itu, para ahli tentang alam sungguh-sungguh percaya bahwa dinamika progresif itu ber-langsung murni selaras dengan hukum-hu-kum fisika. Dengan demikian, “tangan Tuhan” tidak dibutuhkan untuk memberi itu, aspek kosmogonik dan teleologis juga dapat diulas menurut penye-lidikan teoretis dan ilmiah, terutama terkait dengan teori-teori yang bersaing di abad XIX. Di era tersebut terdapat tiga teori, ya-itu Darwinisme, Creatonism, dan teori Intelligent Design. Pertama, Darwinisme. Darwinisme adalah aliran milik Charles Darwin 1809-1882, yaitu Teori Evolusi. Menurut Teori Evolusi, kehadiran makhluk hidup itu sifatnya kebetulan. Tidak ada ke-terarahan pada suatu unsur ilahi tertentu. Menurut Darwinisme, fakta evolusi itu dije-laskan dua faktor alami, yaitu mutasi-mu-tasi kecil tak terarah atau kebetulan dan se-leksi. Mutasi perubahan dari organisme-organisme itu hadir secara kebetulan dan mengalami perkembangan secara alami se-hingga menjadi suatu makhluk yang utuh. Di dalam perkembangan tersebut, ada upa-ya untuk mempertahankan diri supaya ber-Blank, “Christian Wolff on Common Notions and Duties of Esteem.” Magnis-Suseno, “Allah Dan Alam. Darwinisme, Creatonism, Intellegent Design Sebuah Diskursus Kritis.” Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online tahan hidup. Yang tidak mampu memperta-hankan diri akan tersingkir. Itulah seleksi alam. Analisis Darwinian itu menunjukkan bahwa tidak ada petunjuk positif tentang keterarahan segala sesuatu kepada Creatonism. Creatonism ber-kembang di Amerika Serikat. Paham ini merupakan usaha melawan Teori Evolusi. Menurut para penganutnya, Tuhan meng-kreasi segala organisme secara langsung be-berapa ribu tahun yang lalu. Dasar keperca-yaannya, ajaran evolusi bertentangan de-ngan yang ditulis dalam dua pasal pertama Kitab Kejadian. Menurut teori ini, Teori Evolusi dapat keliru. Sedangkan Kitab Ke-jadian Kitab Suci adalah wahyu Allah. Oleh karena itu, tidak dapat keliru. Yang dapat dipetik dari anggapan ini adalah bah-wa asal-usul segala sesuatu sudah jelas me-lalui keyakinan yang tidak dapat dibuktikan melalui teori, tetapi hadir dari Allah. Di sini aspek keterarahan dari segala sesuatu tidak diperhatikan. Oleh karena itu, muncul teori baru yang menyaingi teori kedua Teori Intelligent Design. Da-lam teori ini, keterarahan segala sesuatu di-Benjamin Grant Purzycki et al., “The Moralization Bias of Gods’ Minds A Cross-Cultural Test,” Religion, Brain & Behavior 12, no. 1–2 2022 38–60, Magnis-Suseno, “Allah Dan Alam. Darwinisme, Creatonism, Intellegent Design Sebuah Diskursus Kritis.” Kurt P. Wise, “Contributions to Creationism by George McCready Price,” in Proceedings of the International Conference on Creationism, vol. 8, 2018, 683–94, jamin suatu kepastian. Kepastian itu adalah bahwa evolusi organisme-organisme jelas-jelas menunjukkan keterarahan. Oleh kare-na itu, ada seorang desainer rasional intel-ligent design yang darinya semuanya ber-asal dan kembali. Penganut teori Intelligent Design bersedia menerima kenyataan evo-lusi. Namun, mereka menolak anggapan tentang evolusi sebagai proses kebetulan dari pemahaman itu, Kant menolak argumen teleologis. Baginya, ar-gumen ini menegaskan bahwa penyebab ini menuntut eksistensi suatu sebab intelijen yang ultimat, sebagai sebab dari keteraturan yang dialami. Kant menganggap argumen ini bersandar pada analogi dengan kreativi-tas manusia dan hasilnya. Selain itu, argu-men itu memiliki problem di intinya saja. Oleh karena itu, keberatan utama dikemu-kakan Kant terhadap argumen yang dapat dibukti-kan argumen ini adalah... arsitek du-nia yang selalu dirintangi penyesu-aian materi di mana sang arsitek itu bekerja, bukan pencipta dunia yang idenya adalah bahwa segala sesuatu tunduk padanya. Magnis-Suseno, “Allah Dan Alam. Darwinisme, Creatonism, Intellegent Design Sebuah Diskursus Kritis.” Ada Agada, “Kant and the Classical Metaphysical Proofs of God’s Existence How the Proofs Can Play a Regulative Function in the Sphere of Pure/Speculative Reason,” Journal of African Studies and Sustainable Development 2, no. 2 2019 88–106. Kant, The Critique of Pure Reason. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Menurut Kant, argumen ini mengungkap-kan bahwa jika terdapat finalitas, intelijensi niscaya berada, yaitu seorang sebagaimana Kant memperhati-kannya dengan teliti, dalil ini tidak menje-laskan bahwa Inteligensi itu adalah pengada yang paling utuh, yaitu Tuhan. Jika demi-kian, bagaimana argumentasi Kant tentang eksistensi Tuhan? Argumen Moral Kant Argumentasi Kant terkait moralitas dan praktis moral merupakan bentuk penya-daran bahwa kesadaran manusia akan ke-sanggupan ratio praktisnya dapat memu-tlakkan adanya Tuhan. Moralitas Kant berpendapat bahwa penalaran moral memberikan tuntutan kepada seseorang untuk mendapatkan imbalan selaras keutamaannya. Dengan demikian, moralitas sebetulnya mempunyai dasar dalam kewajiban. Oleh karena itu, moralitas bukanlah legalitas. Moralitas MoralitĂ€t atau Sittlichkeit adalah tindakan yang sesuai dengan norma dalam batin, yaitu yang dipandang sebagai tanggung jawab. Sementara itu legalitas LegalitĂ€t atau Tetiana Pavlova et al., “Ethics and Law in Kant’s Views The Principle of Complementarity,” International Journal of Ethics and Systems 35, no. 4 2019 651–64, GesetzmĂ€ssikeit merupakan keselarasan suatu aktivitas dengan norma atau hukum yang tampak secara fisik belaka. Nilai mo-ral akan diperoleh dari dalam moralitas ke-tika desakan batin Triebfeder sama sekali tidak diperhatikan. Supaya tindakan itu disebut moral, Kant membedakan moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas hetero-nom merupakan sikap saat tanggung jawab dipatuhi dan dikerjakan bukan atas dasar kewajiban itu sendiri, melainkan atas alasan desakan atau dorongan tertentu dari luar di-rinya. Sedangkan moralitas otonom meru-pakan titik sadar manusia akan tanggung jawabnya yang ia taati sebagai hal yang baik. Saat melakukan sesuatu tanpa disusu-pi penilaian baik dari orang lain tetapi kare-na sadar bahwa itu baik dilakukan, saat itu-lah ia melaksanakan kewajibannya. Se-dangkan jika melakukan demi suatu tujuan tertentu atau paksaan pihak lain, di saat itu-lah seseorang menghancurkan nilai moral. Dengan demikian, Kant mengungkapkan bahwa keseriusan sikap moral akan tampak saat seseorang bertindak demi tanggung ja-wab itu sendiri, kendati tidak memberikan kepuasan Capps and Julian Rivers, “Kant’s Concept of Law,” The American Journal of Jurisprudence 63, no. 2 2018 259–94. Martin Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity,” Journal of Philosophy of Education 55, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Untuk dapat memahami kewajiban sebagai dasar tindakan moral, Kant menje-laskan tentang imperatif-imperatif. Kant menunjukkan bedanya perintah dan impera-tif. Imperatif merupakan wujud putusan da-ri perintah yang dirumuskan “seharusnya” sollen. Sedangkan perintah merupakan asas objektif sejauh mewajibkan kehendak subjektif. Ada dua imperatif, yaitu imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Pertama, imperatif kategoris. Itu adalah keharusan dalam keinginan itu sendiri. Suatu tindakan akan merupakan tindakan baik secara moral saat keinginannya otonom. Tindakan dilak-sanakan bukan berbasiskan pertimbangan pada tujuan, melainkan sekadar pada kepa-tuhan pada tanggung jawab. Kedua, impe-ratif hipotetis. Itu adalah penetapkan suatu perintah demi mencapai tujuan sehingga sa-ngat dikondisikan tujuan Jalan Menuju Tuhan Kant menggunakan argumen etis untuk menegaskan eksistensi Allah. Menu-rutnya, ada dua prinsip tindakan manusia, yaitu maksim dan kaidah objektif. Maksim merupakan prinsip yang berlaku subjektif sebagai pedoman untuk bertindak. Se-no. 6 2021 949–65, J E Penner, “We All Make Mistakes A Duty of Virtue’Theory of Restitutionary Liability for Mistaken Payments,” The Modern Law Review 81, no. 2 2018 222–46, mentara itu, prinsip objektif adalah prinsip yang ada di luar diri manusia. Prinsip objek-tif ada sebagai penetral kecenderungan do-rongan lahiriah manusia yang terkadang bertindak tanpa pertimbangan akal budi. Dengan demikian, prinsip objektif sebetul-nya berfungsi untuk menuntun orang ke ja-lan benar. Sementara itu, prinsip maksim senantiasa menjadikan pribadi menjadi tuan atas hukum. Dengan demikian, Kant meru-muskan perintah yang tidak tergoyahkan ini dalam aneka rumusan, “Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang melaluinya kamu bisa sekaligus menghendakinya menjadi hukum umum.” Namun, jika bertindak demikian, manusia sudah berada pada dunia yang mengatasi penginderaan dan Critique of Pure Reason, manusia tidak sanggup menggapai kenyata-an yang mengatasi penginderaan noumenon karena wujud kategori-kategorinya kosong. Substansi kategori-kategori itu harus memi-liki sifat fenomenal. Sebaliknya, wujud-wu-jud kehendak memuat substansi yang ber-sifat independen dalam dirinya. Kehendak itu sendiri yang menjadikan aksi manusia memiliki sifat baik secara moral. Ia menga-Pavlova et al., “Ethics and Law in Kant’s Views The Principle of Complementarity.” Kant, The Critique of Pure Reason. Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online rah kepada suatu fakultas, potensi, atau ke-kuatan di dalam manusia yang terlibat di da-lam terjadinya keputusan. Kant juga hampir menyamakan kehendak dengan ratio. Me-nurutnya, fakultas kehendak dapat bekerja tanpa memperhitungkan keinginan dan ke-cenderungan. Sedangkan, penentu kegia-tan-kegiatan kehendak adalah ratio praktis sendiri. Bahkan, tindakan empiris akan baik hanya jika dilakukan demi kewajiban. Dengan demikian, kehendak baik itu bagian dari ranah numenal yang bukan berkondisi-kan, karena merupakan bentuk imperatif kategoris dari rasio praktis. Segera setelah mencapai kenyataan yang melampaui penginderaan, Kant me-mutuskan menakar yang mungkin menjadi postulat yang menjadikan moralitas itu mungkin. Dalam investigasi ini Kant me-nyatakan adanya tiga postulat yang memba-ngun moralitas, yaitu kebebasan, keabadian jiwa, dan Tuhan. Pertama, Kant mencermati bahwa kehendak memiliki sifat independen dari semua daya tarik yang berasal dari ra-nah fenomenal. Alasannya, kehendak me-miliki sifat otonom. Kehendak tidak dapat memiliki sifat seperti jika dikondisikan se-cara mekanisme kausal. Dengan demikian, kehendak adalah bebas postulat pertama. Kedua, Kant mencermati bahwa kebajikan Blank, “Christian Wolff on Common Notions and Duties of Esteem.” merupakan kebaikan tertinggi. Akan tetapi, keinginan manusia tidak dapat seutuhnya dipuaskan kecuali jika kebahagiaan senan-tiasa menjadi akibat setiap kebajikan. Dari kenyataan ini timbul keyakinan tentang ke-abadian jiwa postulat kedua. Ketiga, ka-rena manusia percaya bahwa kebahagiaan mengikuti suatu kebajikan, kepercayaan itu menumbuhkan kepercayaan akan keberada-an Tuhan postulat ketiga. Dengan demiki-an, menurut Kant, kehendak memiliki ke-unggulan mengatasi pengetahuan. Kesesuaian antara Kehendak dan Hukum Moral Menurut Kant, moralitas bertujuan menggapai kebahagiaan tertinggi summum bonum. Tentunya kebaikan tertinggi juga bermakna kebahagiaan sempurna yang di dalam kehidupan kekal. Kebahagiaan dunia ini bersifat fana, terutama akibat kejahatan. Supaya kebaikan moral memiliki kaitan de-ngan kebahagiaan sempurna, manusia wajib menerima keberadaan tiga postulat. Perta-ma, kebebasan kehendak. Kedua, immorta-litas jiwa. Ketiga, esksistensi Tuhan. Keti-ganya merupakan kepercayaan Glaube secara akal budi praktis. Alasannya, paham moral akan terbentuk berdasarkan akal budi murni. Melalui peranan akal budi murni, Kant menyebut tiga postulat itu sebagai Immanuel Kant, “Groundwork of the Metaphysic of Morals. New York HJ Paton” New York HJ Paton, 1964, 78. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online cita-cita tertinggi yang mesti diperjuang-kan. Harapan moral manusia atas postulat itu, terutama postulat immortalitas jiwa dan adanya Allah yang memang menghendaki manusia bahagia merupakan awal agama. Sementara itu, melalui postulat kebebasan itu, diandaikan bahwa kebebasan itu nyata. Kebebasan dapat ditemukan di dalam dunia noumenal. Alasannya, untuk berbuat sesua-tu yang bermoral fenomenal, di dalamnya terkandung perihal kebebasan noumenal.Melalui pemahaman itu, kesesuaian antara kehendak dan hukum moral untuk sampai pada kebaikan tertinggi yang mung-kin itu telah ada di dalam diri manusia ber-agama. Oleh karena itu, jika dikaitkan de-ngan teologi, agama merupakan penerapan teologi kepada moralitas. Dalam kata-kata Kant terjemahan Bahasa Inggris “Religion is nothing but the application of theology to morality, that is, to a good disposition and a course of conduct well-pleasing to the highest being.” Selain itu, kebaikan ter-tinggi tercapai dengan keseimbangan sem-purna antara kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan adalah yang membuat sesuatu pantas mendapatkan kebahagiaan. Sedang-Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Immanuel Kant, Lectures on Philosophical Theology, trans. Allen W. Wood and Gertrude M. Clark Ithaca, NY, 1978, 26. Kristi Sweet, “Mapping the Critical System Kant and the Highest Good,” Journal of Transcendental Philosophy 3, no. 3 2022 301–19, kan kebahagiaan berarti mengenai penca-paiannya. Dengan demikian, pencapaian kebahagiaan adalah kesesuaian sempurna antara kemauan dengan hukum moral. Kant menyebutnya juga sebagai dengan itu, dapat dika-takan bahwa manusia memang tidak sem-purna. Namun, ia berproses menuju kesem-purnaan kodrati. Oleh karena itu, manusia dituntut melakukan kemajuan tanpa akhir dari keadaan sempurna rendah ke sempurna lebih tinggi. Kemajuan ini hanya dimung-kinkan jika manusia mendalilkan eksisten-sinya yang berakhir sebagai makhluk rasio-nal, sehingga realitas ke-immortalitas-an personal muncul sebagai suatu asumsi yang diperlukan untuk membuat kehidupan mo-ral dapat dimengerti. Ke-immortalitas-an bukanlah sesuatu yang dialami secara lang-sung dalam wilayah fenomena sekarang. Akan tetapi, akal menuntut dalilnya dalam rangka memperoleh kesadaran fakta eksis-tensi. Dengan demikian, dapat disimpul-kan bahwa Tuhan adalah Yang Maha-sempurna. Dari padanya ratio praktis ber-muara. Ratio praktis dapat membenarkan adanya Tizzard, “Why Does Kant Think We Must Believe in the Immortal Soul?,” Canadian Journal of Philosophy 50, no. 1 2020 114–29, https// Saniye Vatansever, “Kant’s Coherent Theory of the Highest Good,” International Journal for Philosophy of Religion 89, no. 3 2021 263–83. Kant, The Critique of Pure Reason. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Tuhan Penjamin Kebaikan Moral dan Kebahagiaan Jika hubungan antara kebaikan dan kebahagiaan yang ditunjukkan hukum mo-ral hendak direalisasikan, eksistensi Tuhan, moralitas, dan intelijen diperlukan. Kebaha-giaan pasti muncul di dalam proporsi yang sesuai dengan kebaikan. Inilah putusan dari ratio praktis. Ratio praktis menunjukkan bahwa di dalam penerimaan dan pengakuan kehendak, manusia menerima dan menga-kui proporsi kebaikan sempurna itu. Oleh karena itu, imperatif kategoris hanya mem-punyai dasar dan diterima manusia jika ada Tuhan dan dunia moral yang menjamin im-peratif moral. Dengan demikian, percaya kepada Tuhan dapat dipertanggungjawab-kan secara moral dan rasional. Keperca-yaan pada realitas-Nya memiliki alasan ka-rena hal ini dipersyaratkan untuk mengerti sepenuhnya fakta kehidupan moral yang ti-dak dapat diingkari. Berdasarkan pemaha-man itu, ratio praktis sebetulnya telah di-kondisikan untuk menerima tentang adanya eksistensi Tuhan sebagai penjamin mora-litas otonomi manusia. Tizzard, “Why Does Kant Think We Must Believe in the Immortal Soul?” Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Implikasi Argumentasi Kant tentang Eksistensi Tuhan Afirmasi untuk Agama Terkait Eksistensi Tuhan Berdasarkan tiga jalan ontologis, kosmologis, dan teleologis, dapat dikata-kan bahwa semua itu adalah upaya rasional manusia. Menurut Kant, bukti-bukti rasio-nal mengenai Tuhan tidak mungkin tepat karena tergantung pada penalaran. Tuhan ti-dak berada di dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu, Ia tidak dapat dibuktikan dari pe-ngalaman yang berdimensi ruang dan wak-tu. Bagi Kant, ruang dan waktu hanyalah forma-forma inderawi intuisi manusia. Me-nurutnya, Tuhan bukan objek pengetahuan. Dengan demikian, pembuktian on-tologis, kosmologis, dan teleologis itu boleh dipahami seperti manusia sedang berupaya mendemonstrasikan Tuhan. Menurut Kant, adalah mutlak sekaligus penting meyakini keberadaan Allah. Adalah baik bahwa ma-nusia tidak mengenal dan memahami, tetapi percaya eksistensi Tuhan. Terkait dengan hal itu, tidak berarti Kant percaya kepada Tuhan tanpa dasar karena telah menyelidiki batas-batas kemampuan rasio. Kant mema-hami prinsip imperatif kategoris yang mengharuskan ia memunculkan tiga dalil, Daniel Smyth, “Kant’s Mereological Account of Greater and Lesser Actual Infinities,” Archiv FĂŒr Geschichte Der Philosophie, 2021, Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online yaitu kebebasan, immortalitas jiwa, dan Allah. Akhirnya, ia melihat ketiga hal itu dalam kaitan dengan penekanan pada kewa-jiban di dalam moralitas dan hubungan de-ngan akal. Dalam kaitannya dengan itu ju-ga, Kant mengungkapkan klaimnya bahwa di dunia ini, tak ada yang mungkin dapat di-pahami, yang dapat disebut sebagai kewaji-ban tanpa syarat, kecuali kemauan baik. Oleh karena itu, Kant mulai mene-mukan kebenaran tentang adanya eksistensi Tuhan bukan dengan cara mendemostrasi-kan-Nya, melainkan percaya bahwa Tuhan itu kebaikan tertinggi summum bonum. Dalam kaitan itu, Kant sampai pada sim-pulan bahwa keberadaan Tuhan dan keaba-dian merupakan ketentuan-ketentuan budi praktis. Tuhan adalah ketentuan yang dibu-tuhkan bagi keberadaan moralitas. Tanpa Tuhan yang menjamin proporsionalitas an-tara kebaikan dan kebahagiaan, dunia me-rupakan tempat yang jauh kurang rasional dan bermoral. Artinya, Tuhan memang ti-dak dapat dibuktikan secara objektif. Na-mun, implikasi kewajiban moral mutlak merujuk pada pengandaian yang tidak ter-bantahkan tentang adanya Tuhan sebagai pendasaran moral. Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Colin Brown, Filsafat Dan Iman Kristen Jakarta Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994, 146. Negasi atas Ateisme Filsafat Kant menganggap bahwa manusia tidak sanggup menilai kehendak Tuhan. Kant tidak memperhatikan pengala-man-pengalaman Kristen mengenai Tuhan dan kesaksian historis dari Kitab Suci. Pe-ngalaman-pengalaman Kristen itu memper-lihatkan bahwa Tuhan memberdayakan ma-nusia karena mengasihinya sehingga ber-tumbuh dan berkembang. Itulah aspek yang tidak dilihat Kant. Menurut Kant, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan relasi kasih dialogal. Hanya dalam relasi intensif dengan Tuhan, manusia mendapatkan ke-merdekaan dari segala sesuatu yang hanya fana sifatnya. Menurut Kant, tugas orang beriman adalah menemukan Tuhan bagi mereka sendiri dengan pilihan-pilihannya sendiri, dan untuk alasan praktisnya sendiri. Otoritas iman terdapat dalam diri orang yang percaya. Kant menegaskan bahwa manusia adalah otoritas terakhir dalam me-nilai iman. Namun, budi praksis nampak mencurigakan seperti potongan-potongan impian khayal. Kant berusaha untuk me-nolak adanya teologi tradisional yang ber-upaya membuktikan Tuhan secara rasional. Dengan demikian, teori Kant memungkin-kan untuk mengatakan sedikit tentang sifat Sudarminta and Tjahjadi, Dunia Manusia Dan Tuhan. Smyth, “Kant’s Mereological Account of Greater and Lesser Actual Infinities.” Brown, Filsafat Dan Iman Kristen. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Tuhan, tetapi arah filsafatnya gagal mendo-rong usaha konstruktif di bidang menyadari adanya eksistensi Tuhan hanya dalam kaitannya dengan budi praktis. Budi praktis dapat menilai bahwa perbuatan melaksanakan kewajiban sebagai kewajiban, dapat menuntut keniscayaan adanya eksistensi Tuhan sebagai penjamin mutlak. Namun, fakta bahwa adanya kebe-naran tentang Tuhan tidak selalu merupa-kan keniscayaan satu-satunya terkait kebe-naran mutlak dari ratio praktis. Alasannya, ratio praktis seringkali juga berhadapan de-ngan kewajiban. Oleh karena itu, mungkin ada kondisi saat manusia secara moral harus tidak menaati kewajiban. Dalam hal ini Kant mungkin belum teliti mengkaji prinsip imperatif kategoris terkait dengan kewaji-ban itu. Selain itu, Kant benar bahwa Tuhan bukan objek ilmu pengetahuan. Namun, ada pengetahuan di luar pengetahuan objektif, yaitu pengetahuan moral yang memungkin-kan pertanggungjawaban tentang Tuhan. Dikatakan demikian, karena rasio praktis berada pada tataran waktu dan ruang, yang tidak sama pula untuk sesuatu yang berada di luar ruang dan waktu, seperti Tuhan. Saat secara rutin menolak klaim agama dengan alasan bahwa “yang dapat di-tegaskan tanpa bukti juga dapat ditolak tan-Sticker, “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Smyth, “Kant’s Mereological Account of Greater and Lesser Actual Infinities.” pa bukti,” Christopher Hitchens dan para ateis melakukan kesalahan kategori. Menu-rut Kant, dalam wilayah pengalaman, akal manusia berdaulat. Namun, sama sekali ti-dak masuk akal untuk memercayai hal-hal berdasarkan iman yang tidak dapat dinilai dengan akal. Saat secara ringkas mengabai-kan gagasan keabadian jiwa dengan alasan bahwa tidak pernah menemukan bukti em-pirisnya, para ateis meminta bukti pengala-man dalam domain yang sepenuhnya di luar jangkauan indera. Kant berpendapat bahwa tidak adanya bukti semacam itu tidak dapat digunakan sebagai bukti tidak menggunakan kosakata agama apa pun, juga tidak bergantung pada iman apa pun. Namun, dalam menunjukkan batas-batas nalar, filsafat Kant membuka pintu iman. Kant mengungkap kesombo-ngan kaum ateis bahwa ateisme beroperasi pada bidang intelektual yang lebih tinggi dari teisme. Kant menunjukkan bahwa akal harus tahu batasnya supaya benar-benar masuk akal. Menurutnya, ateisme bodoh karena menganggap bahwa akal pada prin-sipnya mampu mencari tahu semua yang ada. Sementara teisme setidaknya tahu ada realitas yang lebih besar daripada yang da-pat ditangkap indera dan pikiran. Hitchens, God Is Not Great How Religion Poisons Everything. Kant, The Critique of Pure Reason. Kant, “Groundwork of the Metaphysic of Morals. New York HJ Paton.” Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online KESIMPULAN Melalui pertanyaan tentang eksis-tensi Tuhan, agama hadir dalam diri ma-nusia. Sehubungan dengan itu, argumen on-tologis, kosmologis, maupun teleologis te-lah berupaya untuk menjelaskan tentang ek-sistensi Tuhan. Kant memperlihatkan ada-nya Tuhan melalui jalan moral. Melalui ar-gumentasi Kant tentang eksistensi Tuhan, dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan secara te-gas, jelas dan terpilah. Alasannya, Tuhan pada hakikatnya tidak terbatas ruang dan waktu. Manusia hanya mampu membukti-kan yang berkaitan dengannya sebagai cip-taan, bukan membuktikan Tuhan. Menurut Kant, manusia yang dapat secara bebas me-laksanakan tugas dan tanggung jawabnya adalah manusia yang telah mengaktualkan moralitas otonom. Moralitas otonom itu se-lalu mengarahkan untuk bertindak sesuai dengan maksim. Dengan kata lain, tugas dan tanggung jawab ini adalah sesuatu yang bersifat ontologis yang mengarahkan manu-sia sampai pada aksiologi. Sehubungan de-ngan maksim ini, manusia secara mutlak, melalui ratio praktisnya mengarahkan diri-nya untuk secara mutlak meyakini adanya eksistensi Tuhan sebagai penjamin mutlak bagi tindakan moral. Tanpa Tuhan, menurut Kant, moralitas tidak bermakna. Di sini mo-ralitas mernjadi argumen pendukung bagi eksistensi agama. Selain itu, kehendak baik mengarahkan manusia untuk melaksanakan tindakan etisnya seturut nilai dari kewaji-ban. Manusia melaksanakan kewajiban se-bagai suatu kehendak baik, jika di dalam di-rinya ia bebas. PERNYATAAN PENULIS Tulisan ini adalah hasil kolaborasi pemikiran dari kedua penulis. DAFTAR PUSTAKA Agada, Ada. “Kant and the Classical Metaphysical Proofs of God’s Existence How the Proofs Can Play a Regulative Function in the Sphere of Pure/Speculative Reason.” Journal of African Studies and Sustainable Development 2, no. 2 2019 88–106. Athanassopoulos, Evangelos, and Michael Gr. Voskoglou. “A Philosophical Treatise on the Connection of Scientific Reasoning with Fuzzy Logic.” Mathematics 8, no. 6 2020 875. 8060875. Blank, Andreas. “Christian Wolff on Common Notions and Duties of Esteem.” Journal of Early Modern Studies 8, no. 1 2019 171–93. https// Boer, Karin De, and Stephen Howard. “A Ground Completely Overgrown Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics.” British Journal for the History of Philosophy 27, no. 2 2019 358–77. Brown, Colin. Filsafat Dan Iman Kristen. Jakarta Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994. Caimi, Mario Pedro Miguel. “On the Concept of Real Use of Reason.” Open Philosophy 5, no. 1 2022 403–23. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Canetta, Elisabetta. “Understanding the Relations between Transcendence and Mathematics A Resource Essay for Educators and Students in Catholic Universities to Appreciate Its Deep Meanings.” International Studies in Catholic Education, 2022, 1–15. Capps, Patrick, and Julian Rivers. “Kant’s Concept of Law.” The American Journal of Jurisprudence 63, no. 2 2018 259–94. Case-Winters, Anna. “Incarnation In What Sense Is God Really with Us’?” European Journal for Philosophy of Religion 11, no. 1 2019 19–38. Dawkins, R., and L. Ward. The God Delusion. Boston Houghton Mifflin Company, 2006. Gonçalves, Clara Germana. “A Thing of Beauty Is a Joy Forever’ A Transdisciplinary Reading on Creativity.” In Creating Through Mind and Emotions. CRC Press, 2022. Heide, Dai. “Rationalism and Kant’s Rejection of the Ontological Argument.” Journal of the History of Philosophy 59, no. 4 2021 583–606. 0068. Hitchens, Christopher. God Is Not Great How Religion Poisons Everything. McClelland & Stewart, 2008. Kahr, Bart. “PoincarĂ© and His Polarization Sphere.” Chirality 33, no. 11 2021 758–72. 23363. Kant, Immanuel. “Groundwork of the Metaphysic of Morals. New York HJ Paton.” New York HJ Paton, 1964. ———. Lectures on Philosophical Theology. Translated by Allen W. Wood and Gertrude M. Clark. Ithaca, NY, 1978. ———. The Critique of Pure Reason. Edited by Norman Kemp Smith. London Palgrave Macmillan, 2003. Lewin, Michael. “The Universe of Science. The Architectonic Ideas of Science, Sciences and Their Parts in Kant.” Kantian Journal 39, no. 2 2020 26–45. Magnis-Suseno, Franz. “Allah Dan Alam. Darwinisme, Creatonism, Intellegent Design Sebuah Diskursus Kritis.” Diskursus Jurnal Filsafat Dan Teologi 8, no. 1 2009 6. Marshall, Colin. “Never Mind the Intuitive Intellect Applying Kant’s Categories to Noumena.” Kantian Review 23, no. 1 2018 27–40. 1017/S136941541700036X. Mion, Giovanni. “On Kant’s Hidden Ambivalence toward Existence in His Critique of the Ontological Argument.” Journal of Applied Logics 5, no. 7 2018 1515–1603. Morales, Juan. “The Ecology of Religious Knowledges.” Religions 13, no. 1 2021 11. rel13010011. Pavlova, Tetiana, Elena Zarutska, Roman Pavlov, and Oleksandra Kolomoichenko. “Ethics and Law in Kant’s Views The Principle of Complementarity.” International Journal of Ethics and Systems 35, no. 4 2019 651–64. 1108/IJOES-04-2019-0080. Penner, J E. “We All Make Mistakes A Duty of Virtue’Theory of Restitutionary Liability for Mistaken Payments.” The Modern Law Review 81, no. 2 2018 222–46. https//doi. org/ Plantinga, Alvin. God, Freedom, and Evil. Wm. B. Eerdmans Publishing, 1977. Dunamis Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol. 7, No. 2, April 2023 Copyright© 2023, Dunamis, ISSN 2541-3937 print, 2541-3945 online Platzer, Johann. “Does a Truly Ultimate God Need to Exist?” Sophia 58, no. 3 2019 359–80. 1007/s11841-018-0686-1. Purzycki, Benjamin Grant, Aiyana K Willard, Eva KundtovĂĄ KlocovĂĄ, Coren Apicella, Quentin Atkinson, Alexander Bolyanatz, Emma Cohen, Carla Handley, Joseph Henrich, and Martin Lang. “The Moralization Bias of Gods’ Minds A Cross-Cultural Test.” Religion, Brain & Behavior 12, no. 1–2 2022 38–60. https//doi. org/ Reid, Jasper. “Anne Conway and Her Circle on Monads.” Journal of the History of Philosophy 58, no. 4 2020 679–704. 0072. Silvestre, Ricardo. “A Brief Critical Introduction to the Ontological Argument and Its Formalization Anselm, Gaunilo, Descartes, Leibniz and Kant.” Journal of Applied Logics 5, no. 7 2018 1441–74. Smith, Mark C R. “The Uses of Thought and Will Descartes’ Practical Philosophy of Freedom.” The European Legacy 27, no. 3–4 2022 310–20. Smyth, Daniel. “Kant’s Mereological Account of Greater and Lesser Actual Infinities.” Archiv FĂŒr Geschichte Der Philosophie, 2021. 1515/agph-2018-0107. Sticker, Martin. “Kant on Thinking for Oneself and with Others—the Ethical a Priori, Openness and Diversity.” Journal of Philosophy of Education 55, no. 6 2021 949–65. 12615. Sudarminta, J., and S. P. Lili Tjahjadi. Dunia Manusia Dan Tuhan. Yogyakarta Kanisius, 2008. Sweet, Kristi. “Mapping the Critical System Kant and the Highest Good.” Journal of Transcendental Philosophy 3, no. 3 2022 301–19. https//doi. org/ Tapp, Christian. “Utrum Verum et Simplex Convertantur. The Simplicity of God in Aquinas and Swinburne.” European Journal for Philosophy of Religion 10, no. 2 2018 23–50. Tizzard, Jessica. “Why Does Kant Think We Must Believe in the Immortal Soul?” Canadian Journal of Philosophy 50, no. 1 2020 114–29. Vassallo, Christian. “Atomism and the Worship of Gods. On Democritus Rational’ Attitude towards Theology.” Philosophie Antique. ProblĂšmes, Renaissances, Usages, no. 18 2018 105–25. https//doi. org/ Vatansever, Saniye. “Kant’s Coherent Theory of the Highest Good.” International Journal for Philosophy of Religion 89, no. 3 2021 263–83. Wise, Kurt P. “Contributions to Creationism by George McCready Price.” In Proceedings of the International Conference on Creationism, 8683–94, 2018. https// ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Mario CaimiThe subject matter of the article is the concept of “the real use of reason” usus realis alluded to by Kant in Critique of Pure Reason A299/B355 and in A305/B362. After comparing it with the “real use of understanding” examined in De mundi sensibilis and in the Critique of Pure Reason, the real use of reason is presented as a legitimate and useful performance that should be distinguished from the deceiving illusion induced by an appearance generated by reason itself. The real use of reason its production of ideas and principles proves itself as an unavoidable condition for the regulative use of ideas as well as a condition for the production of a critical metaphysics. Juan Diego MoralesDifferent religious traditions, beliefs, and experiences claim to have epistemic contact with the ultimate source of reality. However, this epistemic claim has encountered one of its most significant obstacles in the initial incompatibility of its multiple accounts. I argue that from the ecology of knowledges, the idea that intentions, body, and physical and social environments are constitutive elements of our experience and knowledge, we can understand both the veridical, as embodied and extended, and pluralistic, as essentially limited, nature of religious experiences and knowledges. I characterize the mystical religious experience as a state of consciousness that allegedly allows direct epistemic contact with the supreme reality, articulating its essentially non-ordinary nature on the basis of the radical otherness of the sacred realm, namely, its character of being eternal, infinite, and with supreme ontological, ethical, and aesthetic value. According to this proposal, the different religious perspectives are understood as different epistemic approaches dealing with these numinous features in a gradual continuum from their most impersonal to their most personal specifications. I conclude that the cognitive relevance of any religious knowledge implies explanations and interventions that, although compatible with, go beyond those of both other religious knowledges and the knowledges of the non-sacred SweetThis essay considers Kant’s concept of the highest good from a systematic point of view. The two spheres of freedom and nature—of the practical and theoretical—need to be brought into a causal relation for the highest good to be achieved. Kant seems to offer numerous possibilities for how human beings are able to think that it is possible for the highest good to be attainable. I argue that it is only in the third Critique , however, that Kant articulates an answer that also establishes freedom and nature within a larger system. The third Critique does this by positing a third, independent and mediating sphere of human experience that allows a transition between freedom and nature to be effected. This answer to the problem of the highest good is distinctive because the causal efficacy of reason in attaining its own demands is preserved. I examine Kant’s view by way of an analysis of his discussion of territory’ and domain’ in the Introduction to the are compelling reasons to expect that cognitively representing any active, powerful deity motivates cooperative behavior. One mechanism underlying this association could be a cognitive bias toward generally attributing moral concern to anthropomorphic agents. If humans cognitively represent the minds of deities and humans in the same way, and if human agents are generally conceptualized as having moral concern, a broad tendency to attribute moral concern—a “moralization bias”—to supernatural deities follows. Using data from 2,228 individuals in 15 different field sites, we test for the existence of such a bias. We find that people are indeed more likely than chance to indicate that local deities care about punishing theft, murder, and deceit. This effect is stable even after holding beliefs about explicitly moralistic deities constant. Additionally, we take a close look at data collected among Hadza foragers and find two of their deities to be morally interested. There is no evidence to suggest that this effect is due to direct missionary contact. We posit that the “moralization bias of gods’ minds” is part of a widespread but variable religious phenotype, and a candidate mechanism that contributes to the well-recognized association between religion and cooperation. Elisabetta CanettaMathematics was considered to be a universal language that God used to write the book of nature. Many of the greatest mathematicians such as Descartes, Leibniz, Euler, Cantor saw their mathematical work as a way to have a clearer insight into the existence of God and His infinity, as well as to glorify His name. This paper explores the mathematics-theology relation in the works of some of the greatest mathematicians from the fifteenth century to the present day. It also discusses how this information could be used to introduce the investigation of the reality of mathematics as divine language in the mathematics curricula of Catholic universities and colleges. At advanced levels, students need to understand Mathematics not only as a secular subject of technical utility, but also as a rich culture in which ideas of transcendence can be C. R. SmithI offer a reading of the role of freedom in Descartes’ Meditations and other writings that sees freedom’s role in “assenting to ideas” as a matter of psychological possibility, and its role in action as governed by epistemic norms. The will has two constitutive aspects, for Descartes there are volitions that terminate in the soul, and volitions that terminate in the body. When these two aspects, the input and output sides in Paul Hoffman’s phrase, harmonize, the result is an expression of free agency. I argue that Descartes holds that norms exist only where there is some responsibility to live up to or fail by, rather than there being any normative standard antecedently given in nature, and that this makes the matter of governing our own freedom all the more pressing. Descartes’ central concern in this area is to locate a way of coping with inevitable ignorance and uncertainty, and I discuss the elements of how he proposes that we do so. I argue also that there is a great deal of continuity between Descartes’ counsel on how to believe and on how to act, and that Cartesian practical philosophy is a coherent continuation of the project of the Meditations. Martin StickerImmanuel Kant famously wants us to think for ourselves. However, thinking collaboratively is often preferable to solitary thinking, especially in educational contexts. In this paper, I argue that Kant does not advocate a problematic form of epistemic or pedagogical individualism. For my argument, I focus on the area that, one might suspect, lends itself the least to collaborative reasoning on Kant's framework morality founded in rational a priori structures. I show that Kant is aware of both the prospects and limits of reasoning on one's own and with others. According to Kant, openness, rooted in an attitude of mutual trust, is required to reason well with others. Kant, however, does underestimate the significance of diversity for collaborative reasoning. Bart KahrIn a text 1892 on light, Jules Henri PoincarĂ© introduced a geometrical device for tracking the polarization of state of light interacting with matter. PoincarĂ© first mapped all polarization ellipses onto the surface of sphere and changes of state were represented as rotations from one point to another about prescribed axes depending on linear optical properties of the medium. Here, we consider how PoincarĂ©, the mathematician, invented his sphere. PoincarĂ©'s professional activities in the service of geodesy appear at first glance to provide a borrowed geometry for his one-to-one mapping of polarization ellipses to global lines of latitude and longitude. However, this association falls apart in the face of a close reading of PoincarĂ©'s biography and his influences, especially the research interests of his teachers from the École Polytechnique and the Écoles de Mines. The work of Tissot and Mallard on distortion ellipses in cartography and the etiology of optical activity in crystals, respectively, together with PoincarĂ©'s own study of the qualitative theory of differential equations, provide the iconography of, and motivation for, the sphere. Whether PoincarĂ©'s mentors were unwitting partners in the invention of the sphere—it is impossible to be sure—PoincarĂ©'s otherworldly geometric sensibilities carried him through isometries rotations on hyperbolic planes and beyond. The apparent ingenuity behind PoincarĂ©'s sphere is diminished in comparison to his fulsome achievements. Moreover, PoincarĂ©'s considerations of the psychology of invention further emphasize that sometimes great ideas arrive to those fortunate to receive them by mechanisms that resist interpretation.
Dipidanadengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
ï»żJawaban ✅ untuk ANGGAPAN TENTANG SESUATU TANPA PEMBUKTIAN dalam Teka-Teki Silang. Temukan jawaban ⭐ terbaik untuk menyelesaikan segala jenis permainan puzzle Di antara jawaban yang akan Anda temukan di sini yang terbaik adalah PRASANGKA dengan 9 huruf, dengan mengkliknya Anda dapat menemukan sinonim yang dapat membantu Anda menyelesaikan teka-teki silang Anda. Solusi terbaik 0 0 Apakah itu membantu Anda? 0 0 Frasa Jawaban Huruf Anggapan Tentang Sesuatu Tanpa Pembuktian Prasangka 9 Bagikan pertanyaan ini dan minta bantuan teman Anda! Apakah Anda tahu jawabannya? Jika Anda tahu jawabannya dan ingin membantu komunitas lainnya, kirimkan solusi Anda Serupa
Kataۄ۳ŰȘىي digunakan dalam arti mengusai. Ia juga dipahami dalam arti menuju ke suatu tempat tanpa didahului sesuatu apapun. Pada ayat di atas juga merupakan ilustrasi tentang kehendak dan kuasa Allah menciptakan langit. Ini sama sekali bukan berarti Allah menuju ke satu tempat dan berpindah ke sana, karena Allah Maha Suci dari tempat dan
Jawaban ✅ untuk ANGGAPAN TENTANG SEUATU TANPA PEMBUKTIAN dalam Teka-Teki Silang. Temukan jawaban ⭐ terbaik untuk menyelesaikan segala jenis permainan puzzle Di antara jawaban yang akan Anda temukan di sini yang terbaik adalah Praduga dengan 7 huruf, dengan mengkliknya Anda dapat menemukan sinonim yang dapat membantu Anda menyelesaikan teka-teki silang Anda. Solusi terbaik 0 0 Apakah itu membantu Anda? 0 0 Frasa Jawaban Huruf Anggapan Tentang Seuatu Tanpa Pembuktian Praduga 7 Bagikan pertanyaan ini dan minta bantuan teman Anda! Apakah Anda tahu jawabannya? Jika Anda tahu jawabannya dan ingin membantu komunitas lainnya, kirimkan solusi Anda Serupa Faktaadalah sesuatu yang dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan benar-salahnya secara empiris. Fakta berkaitan erat dengan teori. Penjelasan terkait hubungan antara fakta-fakta disebut teori. Contohnya, teori jika logam memuai, faktanya, senyawa besi, seng, timah (senyawa logam) memang memuai. Peran fakta: Dalamkonteks inilah penulis ingin membahas mengenai tanda bukti kepemilikan tanah yang sah dan diakui oleh hukum: a. Pengertian Tanda Bukti Pengertian alat atau tanda bukti, menurut Andi Hamzah adalah segala apa yang menurut undang – undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu 49. Sedangkan menurut Kitab Undang – undang Hukum Perdata
MahmudSyaltut, mantan Rektor al-Azhar Mesir, mendefinisikan akidah sebagai suatu sistem kepercayaan dalam Islam, diyakini sebelum apapun dan sebelum melakukan apapun, tanpa ada keraguan sedikitpun dan tanpa ada unsur yang mengganggu kebersihan keyakinannya itu. Yusuf al-Qardlawi menguraikan beberapa prinsip akidah, di antaranya adalah: 1.
6DbY.
  • frie1399hj.pages.dev/274
  • frie1399hj.pages.dev/282
  • frie1399hj.pages.dev/283
  • frie1399hj.pages.dev/132
  • frie1399hj.pages.dev/395
  • frie1399hj.pages.dev/182
  • frie1399hj.pages.dev/226
  • frie1399hj.pages.dev/440
  • anggapan tentang sesuatu tanpa pembuktian